Sabtu, 28 Agustus 2010

PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PASCA ORIF PADA FRAKTUR FEMUR 1/3 DISTAL DENGAN PEMASANGAN PLATE AND SCREW
Pada hakikatnya, pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya, jasmani dan rohani yang dilaksanakan secara terarah, terpadu menyeluruh dan berkesinambungan. Pembangunan di bidang kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat sehingga tercapai derajat kesehatan optimal.
Dalam konsep paradigma sehat menuju Indonesia sehat 2010, tujuan pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal, melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang optimal di seluruh wilayah Republik Indonesia (Depkes RI,1999).
Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, Fisioterapi sebagai salah satu tim kesehatan harus berperan aktif dalam meningkatkan kualitas hidup dan derajat kesehatan masyarakat dengan cara menguasai ilmu pengetahuan dan skill yang optimal sesuai dengan bidang, serta memiliki profesionalisme yang tinggi.



A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa perubahan ke arah perkembangan di bidang industri yang lebih maju. Hal ini ditandai dengan munculnya industri-industri baru yang didukung dengan teknologi yang serba canggih.
Hasil dari adanya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, salah satunya adalah terjadi peningkatan jumlah alat transportasi. Dengan adanya peningkatan jumlah alat transportasi menyebabkan terjadinya peningkatan kecelakaan lalu lintas. Selain itu adanya kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan juga dapat mengakibatkan adanya kecelakaan kerja ataupun kecelakaan dalam rumah tangga. Dimana akan mengakibatkan berbagai macam cidera mulai dari cidera yang sifatnya ringan sampai berat. Yang lebih memprihatinkan lagi dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang atau meninggal dunia. Trauma yang terjadi pada kecelakaan lalu-lintas memiliki banyak bentuk, tergantung dari organ apa yang dikenai. Trauma semacam ini, secara lazim, disebut sebagai trauma benda tumpul. Ada tiga trauma yang paling sering terjadi dalam peristiwa ini, yaitu trauma kepala, fraktur (patah tulang) dan trauma dada (Amrizal,2007).
Trauma kedua yang paling sering terjadi dalam sebuah kecelakaan adalah fraktur (patah tulang). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh tekanan atau rudapaksa. Fraktur dibagi atas fraktur terbuka, yaitu jika patahan tulang itu menembus kulit sehingga berhubungan dengan udara luar dan fraktur tertutup, yaitu jika fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia luar.
Dari semua jenis fraktur, fraktur tungkai atas atau lazimnya disebut fraktur femur (tulang paha) memiliki insiden yang cukup tinggi (Amrizal,2007). Salah satu bentuk cidera yang terjadi adalah Fraktur Femur 1/3 Distal. Dengan banyaknya kasus fraktur, peran Rumah Sakit juga sangat diperlukan untuk menangani kasus tersebut. Ada dua penanganan fraktur. Yaitu konservatif dan operatif. Metode konservatif adalah penanganan fraktur dengan reduksi atau reposisi tertutup. Dimana prinsip reposisi adalah berlawanan dari arah fraktur. Setelah reposisi, dilakukan immobilisasi untuk mencegah fragmen fraktur bergerak dan untuk memfasilitasi penyambungan tulang. Sedangkan metode operatif adalah dengan reduksi terbuka yaitu membuka daerah yang mengalami fraktur dan memasangkan fiksasi internal. Disini fiksasi internal yang biasa digunakan untuk fraktur femur 1/3 distal adalah Plate and Screw. Metode operatif merupakan metode yang paling cocok karena beberapa fraktur (misalnya pada batang femur) sulit direduksi dengan manipulasi karena tarikan otot yang sangat kuat dan membutuhkan waktu traksi yang lama (Apley,1995). Selain itu hasil yang diperoleh tidak maksimal. Dari penjelasan di atas, maka penulis mengambil judul studi kasus tentang penanganan pasca open reduction internal fixation (ORIF) fraktur femur 1/3 distal tanpa disertai adanya komplikasi. Biasanya masalah fisioterapi yang muncul segera setelah operasi open reduction internal fixation (ORIF), pasien telah sadar dan berada di bangsal adalah oedem atau bengkak, nyeri, keterbatasan lingkup gerak sendi, penurunan kekuatan otot serta penurunan kemampuan fungsionalnya yaitu berjalan dikarenakan luka bekas operasi dan luka bekas trauma. Oleh karena itu fisioterapis bekerja untuk mengatasi masalah-masalah itu secara tepat dan cepat agar dapat menurunkan atau menghilangkan derajat permasalahan dan pasien dapat kembali ke aktivitas semula. Salah satu modalitas yang digunakan fisioterapis adalah terapi latihan.
Terapi latihan merupakan salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang dalam pelaksanaannya menggunakan latihan gerak aktif maupun pasif (Priatna, 1985). Modalitas terapi latihan yang diberikan berupa static contraction yang disertai dengan positioning yang dapat membantu mengurangi oedema, dengan oedem berkurang maka dapat membantu mengurangi rasa nyeri. Passive movement dan hold relax diharapkan dapat membantu meningkatkan dan memelihara lingkup gerak sendi. Active movement diharapkan dapat membantu meningkatkan nilai kekuatan otot. Selain itu, fisioterapis juga harus memberikan latihan transfer dan ambulasi, terutama latihan jalan untuk mengembalikan kemampuan fungsionalnya.

B. Rumusan Masalah

Pada kondisi pasca ORIF Fraktur Femur 1/3 Distal dapat dirumuskan masalahnya : (1) apakah Static Contraction yang disertai positioning dapat mengurangi oedem dan nyeri? (2) apakah Passive Movement dan Hold Relax dapat meningkatkan lingkup gerak sendi? (3) apakah Active Movement dapat meningkatkan kekuatan otot? (4) apakah latihan jalan dapat meningkatkan kemampuan fungsionalnya?


C. Tujuan Penulisan

Pada kasus pasca ORIF Fraktur Femur 1/3 Distal dapat dirumuskan : (1) untuk mengetahui manfaat static contraction yang disertai positioning dalam mengurangi oedem dan nyeri, (2) untuk mengetahui manfaat passive movement dan hold relax dalam meningkatkan lingkup gerak sendi, (3) untuk mengetahui manfaat active movement dalam meningkatkan kekuatan otot, (4) untuk mengetahui manfaat latihan jalan dalam meningkatkan kemampuan fungsional jalan.















BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Kasus

Dalam deskripsi kasus memuat anatomi fungsional, definisi, etiologi, patologi, tanda dan gejala, komplikasi, prognosis.

1. Anatomi Fungsional

a. Sistem tulang
1) Tulang femur
Femur, tulang terpanjang dan terberat dalam tubuh meneruskan berat tubuh dari os coxae kepada tibia sewaktu kita berdiri. Femur ke proksimal membentuk articulatio coxae, dimana caput femur akan berhubungan dengan acetabulum, gerakan yang akan terjadi adalah fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, rotasi internal dan rotasi eksternal. Sedangkan femur ke distal berhubungan dengan patella membentuk articulatio genu, dimana gerakan yang mungkin terjadi adalah fleksi dan ekstensi lutut. Caput femoris menganjur ke arah craniomedial dan agak ke ventral sewaktu bersendi dengan acetabulum. Ujung proksimal femur terdiri dari sebuah caput femoris, collum femoris dan dua trochanter (trochanter mayor dan trochanter minor). Caput femoris dan collum femoris membentuk sudut (115o-140o) terhadap poros panjang corpus femoris, sudut ini bervariasi dengan umur dan jenis kelamin. Meski demikian memungkinkan daya gerak femur pada articulatio coxae yang lebih besar, keadaan ini juga melimpahkan beban yang cukup besar pada collum femoris. Corpus femoris berbentuk lengkung, yakni cembung ke arah anterior. Ujung distal femur berakhir menjadi dua condylus yaitu condylus medialis dan condylus lateralis yang melengkung bagaikan ulir (Moore,2002). Femur mengadakan persendian dengan tiga tulang, yaitu tulang coxae, tulang tibia dan patella (Pearce,2006).
2) Tulang patella
Patella atau tempurung lutut adalah tulang yang berkembang di dalam tendon otot Quadriceps ekstensor. Permukaan posteriornya halus dan bersendi dengan permukaan pateler dari ujung bawah femur. Letaknya di depan sendi lutut, tetapi tidak ikut serta di dalamnya (Pearce,2006).
3) Tulang tibia dan fibula
Tibia yang besar dan merupakan penyangga beban, proksimal bersendi dengan condylus femur dan distal dengan talus (Moore,2002).










Keterangan gambar 1 :

1. Caput femoris
2. Collum femoris
3. Trochanter minor
4. Trochanter major
5. Linea intertrochanterica
6. Corpus femoris
7. Epicondilus Medialis
8. Facies patellaris
9. Epicondylus lateralis
10. Crista intectrochantorica
11. Linea pectinea
12. Linea aspera
13. Condylus medialis
14. Condylus lateralis
15. Fossa intercondylaris













Gambar 2.1
Tulang femur, tampak depan dan belakang (Putz and Pabst, 2000)


b. Sistem otot
Untuk gerakan fleksi pada articulatio coxae dilakukan oleh otot iliacus dan otot psoas mayor. Untuk gerakan ekstensinya dilakukan oleh otot gluteus maximus dan hamstrings (biceps femoris, semitendinosus, semimembranosus).
Gerakan abduksi pada articulatio coxae dilakukan oleh otot gluteus medius, gluteus minimus dan otot pembantu tensor fascialata (Daniels,1995).
Gerakan adduksi pada articulatio coxae terjadi melalui otot adductor magnus, adductor brevis, pectineus dan gracilis.
Untuk gerakan rotasi internal pada articulatio coxae terjadi melalui otot gluteus minimus, gluteus medius, tensor fasciae latae, sedangkan gerakan rotasi eksternal dilakukan oleh otot obturatorius externus, obturatorius internus, quadratus femoris, piriformis, gemellus superior, gemellus inferior, gluteus maximus (Daniels,1995).
Otot ekstensor tungkai bawah pada articulatio genu atau otot ekstensor lutut yang menutupi bagian femur anterior, medial, lateral yaitu otot quadriceps femoris dan terdiri dari (a) otot rectus femoris di sebelah anterior paha, (b) otot vastus lateralis yang terdapat pada sisi lateral paha, (c) otot vastus medialis yang menutupi sisi medial paha dan (d) otot vastus intermedius yang terletak di sebelah dalam otot rectus femoris dan antara otot vastus medialis dan otot vastus lateralis (Moore,2002).
Fleksi lutut terjadi melalui otot-otot hamstrings (lateral biceps femoris dan medial semitendinosus serta semimembranosus) (De Wolf,1994). Selain itu gerakan fleksi lutut juga dibantu oleh otot sartorius dan gracilis (De wolf, 1994).

Keterangan Gambar 2:

1. M. psoasmajor
2. M. Iliacus
3. M. Iliopsoas
4. M. tensor fasciae Latae
5. M. rectus femoris
6. M. vastus lateralis
7. M. psoas minor
8. M. pectineus
9. M. adductor longus
10. M. sartorius
11. M. adductor magnus
12. M. gracilis
13. M. vastus medialts































Gambar 2
Otot paha penguat sendi lutut dilihat dari anterior (Putz and Pabst, 2000)



Keterangan Gambar 3 :

1. M. gluteus maximus
2. M. gracilis
3. M. semitendinosus
4. M. semimembranosus
5. M. gastrocnemius
6. M. gluteus medius. fascia
7. M. vastus lateralis
8. M. biceps femoris



































Gambar 3
Otot paha penguat sendi lutut dilihat dari posterior (Putz and Pabst, 2000)


c. Sistem sendi
1) Articulatio coxae
Terbentuk diantara caput femoris tulang femur dan acetabulum os coxae yang berbentuk mangkuk, permukaan sendi acetabulum berbentuk tapal kuda dan terbuka di bagian bawah pada incisura acetabuli. Jenis sinovial “Ball and Socket” (Richard,1998). Gerakan yang terjadi pada articulatio coxae adalah fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, rotasi internal dan rotasi eksternal.
2) Articulatio genu
Sendi sinovial jenis engsel yang memungkinkan sedikit gerak rotasi sewaktu berada dalam sikap fleksi.
Articulatio genu secara mekanis bersifat tidak stabil karena bentuk permukaannya yang datar. Untuk kekuatan articulatio genu tergantung pada ligamentum yang mengikat femur pada tibia (Moore,2002). Gerakan yang dapat dilakukan pada sendi ini adalah fleksi-ekstensi, yang mana terjadi pada bidang gerak sagital dengan axis tranversal. Luas gerak sendi untuk gerakan fleksi berkisar antara 130o – 140o, sedangkan untuk gerakan ekstensi nilainya 0o, apabila nilainya berkisar antara 5o – 10o maka terjadi hyperekstensi, tetapi masih dalam batas normal (Norkin, 1995).

2. Definisi
a. Terapi latihan
Terapi latihan adalah salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang dalam pelaksanaannya menggunakan latihan gerakan tubuh, baik secara aktif maupun pasif (Priatna, 1985).
b. Pasca
Pasca berarti setelah (Ramali, 1987).
c. Open Reduction Internal Fixation
Apabila diartikan dari masing-masing kata adalah sebagai berikut; Open berasal dari bahasa Inggris yang berarti buka, membuka, terbuka (Jamil,1992), Reduction berasal dari bahasa Inggris yang berarti koreksi patah tulang (Ramali, 1987), Internal berasal dari bahasa Inggris yang berarti dalam (Ramali, 1987), Fixation berasal dari bahasa Inggris yang berarti keadaan ditetapkannya dalam satu kedudukan yang tidak dapat berubah (Ramali, 1987). Jadi dapat disimpulkan sebagai koreksi patah tulang dengan jalan membuka dan memasang suatu alat yang dapat membuat fragmen tulang tidak dapat bergerak.
d. Plate and screw
Plate berarti struktur pipih atau lapisan (Dorland,1998). Screw berarti silinder padat (Dorland,2002). Plate and screw berarti suatu alat untuk fiksasi internal yang berbentuk struktur pipih yang disertai alat berbentuk silinder padat untuk memfiksasi daerah yang mengalami perpatahan.
e. Fraktur femur 1/3 distal
Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang, dikarenakan trauma langsung, trauma tidak langsung, faktor tekanan atau kelelahan dan faktor patologik (Appley,1995). Pada kasus ini terjadi pada 1/3 bagian distal femur.

3. Etiologi

Menurut etiologinya fraktur dapat disebabkan oleh : (a) trauma yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung, (b) karena tekanan pada tulang sehingga tulang mengalami kelelahan, (c) karena penyakit pada tulang atau faktor patologik.
Oedem, nyeri, gangguan lingkup gerak sendi, penurunan kekuatan otot dan gangguan aktivitas berjalan disebabkan adanya luka fraktur dan luka bekas operasi.

4. Patologi
Pada kasus fraktur femur 1/3 distal, tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki posisi fragmen adalah dengan reduksi secara terbuka atau dengan tindakan operasi (Appley, 1995). Pada tindakan operasi akan dilakukan incisi pada tungkai atas bagian lateral dan pemasangan plate and screw untuk mendekatkan ujung fragmen dan untuk fiksasi. Dengan adanya tindakan operasi ini, maka akan terjadi kerusakan jaringan lunak. Tindakan operasi akan menyebabkan reaksi radang, pembuluh darah vasodilatasi sehingga permeabilitas dinding akan meningkat. Dengan meningkatnya permeabilitas dinding maka cairan eksudat keluar dan meningkatkan tekanan pada jaringan interstitial. Kumpulan cairan eksudat akan mengakibatkan oedem. Oedem akan menekan nociceptor sehingga akan timbul nyeri. Apabila terasa nyeri, biasanya pasien enggan untuk bergerak, sehingga dapat menyebabkan penurunan lingkup gerak sendi. Apabila hal ini dibiarkan terus-menerus dan dalam jangka waktu yang lama, maka akan terjadi penurunan kekuatan otot sehingga aktivitas fungsional pasien juga akan menurun khususnya aktivitas jalan.
Namun secara fisiologis, tulang mempunyai kemampuan untuk menyambung sendiri setelah patah tulang. Proses penyambungan tulang pada setiap individu berbeda-beda. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyambungan tulang adalah (1) usia pasien, (2) jenis fraktur, (3) lokasi fraktur, (4) suplai darah, (5) kondisi medis yang menyertainya (Garrison,1995). Proses penyambungan tulang terdiri dari tahapan-tahapan :
a. Hematoma
Pembuluh darah robek, darah keluar sehingga terbentuk kumpulan darah di sekitar dan di dalam tempat yang mengalami fraktur. Tulang pada ujung fragmen yang tidak mendapat pasokan darah, akan mati sepanjang satu atau dua millimeter (Appley,1995).
b. Proliferasi
Dalam 8 jam setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam canalis medullaris yang terkoyak. Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan yang kaya sel, yang menghubungkan ujung fragmen fraktur. Hematoma yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang ke dalam daerah itu (Appley,1995).
c. Pembentukan callus
Selama beberapa minggu berikutnya, callus bervaskular masih lunak, penuh dengan sel berbentuk kumparan yang aktif. Tulang spongiosa membentuk callus bila kedua ujung fragmen berdekatan, sedangkan tulang kortikal dapat membentuk callus walaupun kedua ujung fragmen tidak berdekatan. Pergerakan yang lembut dapat merangsang pembentukan callus pada fraktur tulang panjang. Setelah dua minggu endapan kalsium telah cukup terdapat pada callus yang dapat dilihat pada foto sinar-X dan diraba dengan palpasi. Callus yang mengalami kalsifikasi ini secara lambat diubah menjadi ‘anyaman tulang’ longgar terbuka yang membuat ujung tulang menjadi melekat dan mencegah pergerakan ke samping satu sama lain (King, 2001).
d. Konsolidasi
Bila aktivitas osteoklast (sel yang meresorpsi tulang) dan osteoblast (sel yang membentuk tulang) berlanjut, tulang baru akan berubah menjadi tulang lamellar (berlapis-lapis). Sistem itu sekarang cukup kaku untuk memungkinkan osteoklast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur dan dekat di belakangnya osteoblast mengisi celah-celah yang tersisa di antara fragmen dengan tulang yang baru (Apley,1995).
e. Remodelling
Tulang yang fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorpsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamella yang lebih tebal diletakkan pada tempat yang tekanannya tinggi: dinding-dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk akhirnya tulang akan memperoleh bentuk yang mirip dengan bentuk normalnya (Appley,1995).


5. Tanda dan gejala

Menurut Appley dikatakan tanda dan gejala pasca operasi fraktur adalah : (a) oedem di sekitar daerah fraktur, (b) rasa nyeri dikarenakan luka fraktur dan luka bekas operasi dan ada oedem di dekat daerah fraktur, (c) keterbatasan gerak sendi lutut, (d) penurunan kekuatan otot, (e) gangguan aktifitas fungsional tungkai, (f) bila di foto Roentgen akan terlihat garis fraktur (Appley,1995).

6. Komplikasi


Beberapa komplikasi yang dapat timbul pasca operasi fraktur femur 1/3 distal adalah :
a) Infeksi
Infeksi terjadi karena masuknya mikroorganisme patogen ke dalam daerah fraktur dan karena fiksasi internal yang di pasang di dalam tubuh pasien mungkin tidak steril atau karena teknik, perlengkapan dan keadaan operasi yang buruk (Adam, 1992).
b) nekrosis avaskular
Ini adalah komplikasi dini dari cedera tulang, karena iskemia terjadi selama beberapa jam pertama setelah fraktur (Appley,1995).
c) Deep Venous Trombosis ( DVT )
Komplikasi yang paling sering ditemukan pada cedera dan operasi. Di Indonesia insidensi yang sebenarnya tidak diketahui. Penyebab utama Deep Venous Thrombosis pada pasien pembedahan adalah hiperkoagulabilitas darah, terutama akibat aktivasi faktor X oleh tromboplastin yang dilepas oleh jaringan yang rusak. Faktor-faktor sekunder yang penting, seperti imobilisasi yang lama, kerusakan endotel dan peningkatan jumlah dan kelengketan trombosit dapat diakibatkan oleh cedera atau operasi (Appley,1995).

7. Prognosis


Penderita fraktur femur setelah operasi pemasangan fiksasi internal dengan plate and screw bila tanpa komplikasi dan mendapat layanan fisioterapi yang cepat, tepat dan adekuat diharapkan kapasitas fisik dan kemampuan fungsionalnya, baik Quo ad vitam, Quo ad sanam, Quo ad fungsionam, ataupun Quo ad cosmeticam baik.

B. Deskripsi problematika kasus

Problematika yang dapat muncul pada pasca operasi fraktur femur 1/3 distal adalah meliputi :

1. Impairment

a. Oedem di sekitar daerah fraktur
Oedem yang terjadi karena adanya luka bekas operasi, sehingga tubuh memberikan respon radang atas kerusakan jaringan di dekat daerah fraktur.
b. Nyeri di sekitar luka operasi
Adanya luka bekas operasi serta adanya oedem di dekat daerah fraktur, menyebabkan peningkatan tekanan pada jaringan interstitial sehingga akan menekan nociceptor, lalu menyebabkan nyeri.
c. Keterbatasan lingkup gerak sendi
Karena oedem dan nyeri yang disebabkan oleh luka fraktur dan luka operasi menyebabkan pasien takut untuk bergerak, sehingga lingkup gerak sendi lama-lama akan mengalami gangguan atau penurunan.
d. Penurunan kekuatan otot
Oedem dan nyeri karena luka bekas operasi dapat menyebabkan penurunan kekuatan otot karena pasien tidak ingin menggerakkan anggota geraknya dan dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan disused atrophy.

2. Functional Limitation

Adanya oedem dan nyeri menyebabkan pasien mengalami penurunan kemampuan fungsionalnya, seperti transfer, ambulasi, jongkok berdiri, naik turun tangga, keterbatasan melakukan Buang Air Besar (BAB) dan Buang Air Kecil (BAK).
Hal ini disebabkan adanya rasa nyeri, oedem, dan karena penyambungan tulang oleh callus yang belum sempurna, sehingga pasien belum mampu menumpu berat badan dan melakukan aktifitas sehari-hari secara optimal.

3. Participation Restriction

Oleh karena nyeri, oedem dan keterbatasan fungsional, pasien tidak mampu berhubungan dengan lingkungan sekitarnya atau bersosialisasi dengan orang lain.



C. Teknologi Intervensi Fisioterapi

Teknologi Fisioterapi yang digunakan dalam kasus ini adalah terapi latihan. Terapi latihan adalah usaha pengobatan dalam fisioterapi yang pelaksanaannya menggunakan latihan-latihan gerakan tubuh, baik secara aktif maupun pasif (Priatna,1985).
Pada umumnya, sebelum dan setelah pelaksanaan terapi latihan, bagian yang mengalami operasi yaitu 1/3 distal femur pasien dalam keadaan dielevasikan sekitar 30o.

1. Static Contraction

Terjadi kontraksi otot tanpa disertai perubahan panjang otot dan tanpa gerakan pada sendi (Kisner,1996). Latihan ini dapat meningkatkan tahanan perifer pembuluh darah, vena yang tertekan oleh otot yang berkontraksi menyebabkan darah di dalam vena akan terdorong ke proksimal yang dapat mengurangi oedem, dengan oedem berkurang, maka rasa nyeri juga dapat berkurang.

2. Passive Movement

Passive movement adalah gerakan yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan dari luar sementara itu otot pasien lemas (Priatna,1985). Passive movement ada 2, yaitu :
a. Relaxed Passive Movement
Gerakan pasif hanya dilakukan sebatas timbul rasa nyeri. Bila pasien sudah merasa nyeri pada batas lingkup gerak sendi tertentu, maka gerakan dihentikan (Priatna,1985).
b. Forced Passive Movement
Forced Passive Movement bertujuan untuk menambah lingkup gerak sendi. Tekniknya hampir sama dengan relaxed passive movement, namun di sini pada akhir gerakan diberikan penekanan sampai pasien mampu menahan rasa nyeri (Priatna,1985).

3. Active Movement

Merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot anggota gerak tubuh pasien itu sendiri (Kisner,1996). Pada kondisi oedem, gerakan aktif ini dapat menimbulkan “pumping action” yang akan mendorong cairan bengkak mengikuti aliran darah ke proksimal. Latihan ini juga dapat digunakan untuk tujuan mempertahankan kekuatan otot, latihan koordinasi dan mempertahankan mobilitas sendi.
Active Movement terdiri dari :
a. Free Active Movement
Gerakan dilakukan sendiri oleh pasien, hal ini dapat meningkatkan sirkulasi darah sehingga oedem akan berkurang, jika oedem berkurang maka nyeri juga dapat berkurang. Gerakan ini dapat menjaga lingkup gerak sendi dan memelihara kekuatan otot.
b. Assisted Active Movement
Gerakan ini berasal dari pasien sendiri, sedangkan terapis memfasilitasi gerakan dengan alat bantu, seperti sling, papan licin ataupun tangan terapis sendiri. Latihan ini dapat mengurangi nyeri karena merangsang relaksasi propioseptif.
c. Ressisted Active Movement
Ressisted Active Movement merupakan gerakan yang dilakukan oleh pasien sendiri, namun ada penahanan saat otot berkontraksi. Tahanan yang diberikan bertahap mulai dari minimal sampai maksimal. Latihan ini dapat meningkatkan kekuatan otot.

4. Hold Relax

Hold Relax adalah teknik latihan gerak yang mengkontraksikan otot kelompok antagonis secara isometris dan diikuti relaksasi otot tersebut. Kemudian dilakukan penguluran otot antagonis tersebut. Teknik ini digunakan untuk meningkatkan lingkup gerak sendi ( Kisner,1996).

5. Latihan Jalan

Latihan transfer dan ambulasi penting bagi pasien agar pasien dapat kembali ke aktivitas sehari-hari. Latihan transfer dan ambulasi di sini yang penting untuk pasien adalah latihan jalan. Mula-mula latihan jalan dilakukan dengan menggunakan dua axilla kruk secara bertahap dimulai dari non weight bearing atau tidak menumpu berat badan sampai full weight bearing atau menumpu berat badan. Metode jalan yang digunakan adalah swing, baik swing to ataupun swing through dan dengan titik tumpu, baik two point gait, three point gait ataupun four point gait. Latihan ini berguna untuk pasien agar dapat mandiri walaupun masih menggunakan alat bantu.





















BAB III

RENCANA PELAKSANAAN STUDI KASUS

A. Rencana Pengkajian kasus

1. Anamnesis

Anamnesis adalah proses tanya jawab untuk mendapatkan data pasien beserta keadaan dan keluhan-keluhan yang dialami pasien. Anamnesis dapat dibagi menjadi dua, yaitu auto anamnesis dan hetero anamnesis. Auto anamnesis adalah bila tanya jawab dilakukan dengan penderita sendiri. Sedangkan hetero anamnesis adalah bila tanya jawab dilakukan dengan orang lain yang dianggap mengetahui keadaan penderita (Hudaya, 2002).
a. Anamnesis umum
Dalam anamnesis umum ini berisi identitas pasien, dari anamnesis ini bukan hanya dapat diketahui siapa pasien, namun juga dapat diketahui bagaimana pasien tersebut dan permasalahan pasien. Identitas pasien terdiri dari nama pasien, umur, jenis kelamin, alamat, agama dan pekerjaan pasien.
b. Anamnesis khusus, terdiri dari :
1) Keluhan utama
Merupakan keluhan atau gejala yang mendorong atau membawa penderita mencari pertolongan. Biasanya merupakan ada tidaknya nyeri, oedem, keterbatasan gerak sendi akibat fraktur.
2) Riwayat penyakit sekarang
a) Riwayat perjalanan penyakit
Menggambarkan riwayat penyakit secara lengkap dan jelas. Yang biasa ditanyakan adalah kapan terjadi fraktur, mekanisme terjadinya fraktur, penanganan pertama setelah trauma, dimana letak keluhan, faktor yang memperberat dan memperingan keluhan.
b) Riwayat pengobatan
Menggambarkan segala pengobatan yang pernah didapat sebelumnya, riwayat penanganan fraktur yaitu sudah pernah berobat atau ditangani dimana sebelumnya, bagaimana cara penanganannya dan bagaimana hasilnya.
3) Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit baik fisik maupun psikiatrik yang pernah diderita sebelumnya. Dapat diketahui apakah pasien dulu pernah mondok, pernah mempunyai penyakit yang serius, trauma, pembedahan.
4) Riwayat keluarga
Penyakit-penyakit dengan kecenderungan herediter atau penyakit menular, misalnya apakah di dalam keluarga pasien ada yang mempunyai penyakit Diabetes Melitus, apakah mempunyai penyakit pada tulang.
5) Riwayat pribadi
Menggambarkan hobby, olahraga, pola makan, minum alkohol, kondisi lingkungan baik di rumah, sekolah atau tempat kerja yang mungkin ada hubungannya dengan kondisi pasien.
6) Anamnesis sistem
Anamnesis sistem ini dilakukan untuk melengkapi anamnesis atau pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Anamnesis sistem ini meliputi kepala dan leher, sistem respirasi, sistem kardiovaskuler, gastrointestinal, urogenital, muskuloskeletal dan nervorum.

2. Pemeriksaan klinik

a. Pemeriksaan fisik
1) Vital Sign
Pemeriksaan ini meliputi pengukuran tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, suhu tubuh, tinggi badan, berat badan. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengetahui apakah pasien menderita hipertensi, takikardi, demam ataupun obesitas.
2) Pemeriksaan setempat di tempat operasi
a) Inspeksi
Pemeriksaan dengan cara melihat dan mengamati (Mardiman,1994). Hal-hal yang dapat diamati dalam kasus ini adalah adanya oedem atau bengkak ataupun perubahan warna kulit pada daerah yang dioperasi.
b) Palpasi
Pemeriksaan dengan jalan meraba, menekan dan memegang bagian tubuh pasien untuk mengetahui tentang adanya nyeri tekan, suhu, oedem atau adanya spasme otot (Mardiman,1994).
3) Pemeriksaan gerak ditujukan pada anggota gerak yang mengalami operasi
Pemeriksaan gerak meliputi :
a) Pemeriksaan gerak aktif
Pemeriksaan gerak aktif dilakukan pada sendi lutut. Pasien secara aktif menggerakkan anggota tubuhnya yang mengalami gangguan dengan aba-aba dari terapis. Gerakan yang dilakukan meliputi fleksi-ekstensi sendi lutut dan abduksi-adduksi sendi panggul. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang lingkup gerak sendi aktif, rasa nyeri, koordinasi serta kekuatan otot.
b) Pemeriksaan gerak pasif
Terapis menggerakkan anggota tubuh pasien yang mengalami gangguan. Pemeriksaan gerak pasif ini dilakukan pada sendi lutut dan sendi panggul. Gerakan meliputi fleksi-ekstensi sendi lutut dan abduksi-adduksi sendi panggul. Dari pemeriksaan gerak pasif ini didapatkan informasi tentang lingkup gerak sendi pasif, rasa nyeri, dan stabilitas sendi.
c) Pemeriksaan gerak isometrik melawan tahanan
Pasien menggerakkan tungkainya secara aktif sementara terapis memberi tahanan. Pasien berusaha menggerakkan tungkainya baik fleksi-ekstensi sendi lutut dan abduksi-adduksi sendi panggul, namun tidak ada gerakan dalam sendi. Pemeriksaan gerak isometrik ini ditujukan untuk mengetahui kekuatan otot dan adanya rasa nyeri.
b. Pemeriksaan spesifik
1) Pemeriksaan nyeri
Pemeriksaan nyeri bertujuan untuk memeriksa derajat nyeri yang dirasakan oleh pasien saat itu. Sebelum mengukur derajat nyeri, terapis mengajarkan kepada pasien tentang skala nyeri Verbal Descriptive Scale (VDS) itu sendiri. Bahasa yang digunakan terapis adalah bahasa yang sederhana, sehingga pasien memahami maksud dari pengukuran tersebut. Pemeriksaan dengan verbal descriptive scale (VDS) dilakukan dengan tiga pemeriksaan yaitu pemeriksaan nyeri saat diam, tekan dan saat digerakkan.
Pemeriksaan ini dengan menggunakan VDS, yaitu derajat nyeri dengan tujuh skala penilaian :
TABEL 3.1
Kriteria Verbal Descriptive Scale (VDS)

Skala Keterangan
1. Tidak nyeri
2. Nyeri sangat ringan
3. Nyeri ringan
4. Nyeri tidak begitu berat
5. Nyeri cukup berat
6. Nyeri berat
7. Nyeri hampir tak tertahankan
(Pudjiastuti,2003)
2) Pemeriksaan antropometri
Pemeriksaan untuk mengetahui lingkar segmen tungkai atas dan tungkai bawah bilateral. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan pita ukur. Titik patokan adalah Tuberositas tibia. Kemudian terapis mengukur mulai dari Tuberositas Tibia ke atas mulai 10 cm untuk mengukur circumferentia atau lingkar segmen tungkai atas dan Tuberositas ke bawah mulai 10 cm untuk mengukur circumferentia tungkai bawah. Pemeriksaan ini salah satunya digunakan untuk mengetahui apakah ada oedem atau tidak. Hasil dari pengukuran kemudian dibandingkan antara sisi yang sehat dan sisi yang sakit karena oedem dapat terjadi pada sisi yang sakit diakibatkan adanya luka fraktur dan luka bekas operasi.
3) Pemeriksaan lingkup gerak sendi
Pemeriksaan ini untuk mengetahui derajat keterbatasan gerak pasien. Pemeriksaan lingkup gerak sendi ini dengan menggunakan goniometer, dimana as goniometer diletakkan di condylus lateral femur untuk gerakan fleksi-ekstensi lutut. Tangkai statik diletakkan sejajar tulang femur dan tangkai dinamis diletakkan sejajar tulang fibula. Posisi pasien berbaring terlentang. Lingkup gerak sendi yang normal untuk fleksi dan ekstensi lutut adalah (S) 0o-0o-130o, bila ekstensi 5o-10o dikatakan hiperekstensi, namun masih dalam batas normal (Norkin,1995). Untuk gerakan abduksi-adduksi sendi panggul, as goniometer diletakkan di Spina Iliaca Superior Inferior (SIAS). Tangkai statik diletakkan menuju arah Spina Iliaca Superior Inferior (SIAS) yang berlawanan dan tangkai dinamis diletakkan sejajar tulang femur. Posisi pasien berbaring terlentang. Lingkup gerak sendi yang normal untuk abduksi-adduksi sendi panggul adalah (S) 45o-0o-25o (Russe,1975).
TABEL 3.2
Lingkup Gerak Sendi normal
Sendi panggul
(Abduksi) Sendi panggul
(Adduksi) Sendi lutut
(Fleksi) Sendi lutut
(Ekstensi)
45o 25o 130o 0o


4) Pemeriksaan kekuatan otot
Pemeriksaan kekuatan otot ini dengan menggunakan Manual Muscle Testing (MMT), pemeriksaan ini dengan menggunakan tahanan manual dari terapis. Pemeriksaan kekuatan otot dilakukan pada sisi yang sakit. Kelompok otot yang akan dinilai kekuatan ototnya adalah kelompok fleksor dan ekstensor lutut. Dalam pemeriksaan ini harus diperhatikan : (a) posisi pasien, (b) stabilisasi, (c) besarnya tahanan dari terapis, karena pemeriksaan kekuatan otot dengan manual muscle testing bersifat subjektif sehingga hasilnya kurang valid.

TABEL 3.3
Kriteria Hasil MMT
Kriteria Tes MMT Keterangan
0 (zero) Tidak ada kontraksi otot
1 (trace) Ada kontraksi otot tetapi tidak terjadi gerakan
2 (poor) Mampu bergerak penuh tanpa melawan gravitasi
3 (fair) Mampu bergerak penuh melawan gravitasi
4 (good) Mampu bergerak penuh melawan gravitasi dengan tahanan moderat
5 (normal) Mampu bergerak penuh melawan gravitasi dengan tahanan maksimal

5) Pemeriksaan aktivitas fungsional
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan pasien dalam beraktivitas terutama kemampuan jalannya. Pemeriksaan dilakukan dengan mengamati kemampuan pasien dalam berjalan dengan menggunakan alat bantu yaitu axilla kruk serta jarak tempuh yang dapat dicapai pasien.

3. Diagnosis fisioterapi

Pada kasus pasca operasi fraktur femur 1/3 distal dapat ditemukan masalah-masalah yaitu berupa impairment, functional limitation dan participation restriction. Impairment berupa oedem, nyeri, keterbatasan gerak dan penurunan kekuatan otot. Functional limitation berupa penurunan kemampuan fungsionalnya seperti penurunan kemampuan berjalan. Participation restriction berupa ketidakmampuan pasien dalam aktivitas yang berhubungan dengan lingkungan sekitar.

B. Tujuan Fisioterapi

Berdasarkan problematik dan diagnosis fisioterapi di atas, tujuan fisioterapi adalah mengurangi oedem, mengurangi nyeri, meningkatkan lingkup gerak sendi, meningkatkan kekuatan otot dan mengembalikan kemampuan transfer dan ambulasi yaitu kemampuan jalannya, sehingga pasien dapat kembali melakukan aktivitas sehari-hari secara optimal.



C. Rencana Pelaksanaan Terapi

Sebelum dan setelah pelaksanaan terapi latihan, pasien dalam posisi mengelevasikan tungkai atas yang sakit dengan diganjal bantal pada tungkai bawah sisi yang sakit sehingga membentuk sudut 30o.
Adapun pelaksanaan terapi latihan berturut-turut :


1. Static Contraction

Latihan ini dilakukan segera setelah pasien berada di bangsal atau hari pertama setelah operasi. Posisi pasien berbaring terlentang, ditujukan untuk otot quadriceps femoris. Tangan terapis berada di bawah fossa poplitea sisi yang sakit, lalu pasien diminta menekan tangan terapis selama 6 kali hitungan. Latihan ini dilakukan sekali sehari dengan pengulangan 10-12 kali dan dilakukan setiap hari. Latihan ini diharapkan dapat mengurangi oedem dan nyeri.

2. Passive Movement

a. Relaxed Passive Movement
Posisi pasien berbaring terlentang, terapis berada di sebelah lateral tungkai pasien yang sakit dan menghadap ke sisi kranial pasien. Terapis menggerakkan tungkai ke arah fleksi lutut secara perlahan sampai batas timbul rasa nyeri, kemudian dikembalikan lagi ke arah ekstensi lutut. Gerakan lain yang dapat dilakukan adalah abduksi-adduksi sendi panggul, dorsal-plantar fleksi serta inversi-eversi sendi pergelangan kaki. Gerakan ini dilakukan sekali sehari dengan 10-12 kali pengulangan dan dilakukan setiap hari.
b. Forced Passive Movement
Posisi pasien berbaring terlentang, terapis berada di sebelah lateral tungkai pasien yang sakit dan menghadap ke sisi kranial pasien. Gerakan sama seperti relaxed passive movement, namun diakhir gerakan diberi penekanan sampai pasien mampu menahan rasa nyeri. Gerakan ini dilakukan sekali sehari dengan 10-12 kali pengulangan dan dilakukan setiap hari.

3. Active Movement

a. Free Active Movement
Gerakan ini diberikan untuk tungkai yang sakit. Posisi pasien berbaring terlentang, posisi terapis berada di sebelah lateral tungkai pasien yang sakit dan menghadap ke sisi kranial pasien. Tangan terapis yang satu memfiksasi di proksimal lutut dan yang lain di distal tungkai bawah. Pasien menggerakkan sendiri anggota gerak yang sakit. Gerakan yang dilakukan adalah fleksi-ekstensi sendi lutut, abduksi-adduksi sendi panggul dan dorsal-plantar serta inversi-eversi sendi pergelangan kaki. Gerakan dilakukan 1 kali dalam sehari dengan 10-12 kali pengulangan dan dilakukan setiap hari.
b. Assisted Active Movement
Gerakan ini dapat dilakukan pada hari pertama setelah operasi. Posisi pasien berbaring terlentang, dengan satu tangan terapis menyangga di bawah proksimal lutut dan tangan yang lain berada pada distal tungkai bawah pasien. Gerakan yang dilakukan adalah fleksi-ekstensi lutut, abduksi-adduksi sendi panggul dan dorsal-plantar fleksi serta inversi-eversi sendi pergelangan kaki. Gerakan dilakukan 1 kali dalam sehari dengan 10-12 kali pengulangan dan dilakukan setiap hari.
c. Ressisted Active Movement
Gerakan ini dapat dilakukan sekalipun pada hari pertama setelah operasi. Gerakan berupa fleksi-ekstensi lutut, abduksi-adduksi sendi panggul, dorsal-plantar fleksi serta inversi-eversi sendi pergelangan kaki. Terapis memberikan penahanan untuk setiap gerakan yang dilakukan. Tahanan yang diberikan bertahap dari mulai minimal sampai maksimal dan penahanan yang dilakukan sampai pasien mampu menahan rasa nyeri. Tahanan yang diberikan terapis berlawanan dari arah gerakan yang dilakukan pasien. Gerakan dilakukan 1 kali dalam sehari dengan 10-12 kali pengulangan dan dilakukan setiap hari.

4. Hold Relax

Posisi pasien berbaring terlentang, lalu pasien diminta untuk menggerakkan ke arah fleksi lutut sampai batas timbul rasa nyeri, terapis memberikan penahanan ke arah ekstensi lutut. Pasien diminta untuk mempertahankan agar tidak terjadi gerakan pada sendi. Setelah itu pasien rileks dan terapis menggerakkan ke arah fleksi lutut untuk penguluran otot-otot ekstensor.

5. Latihan Jalan

Latihan berjalan dilakukan pada hari kedua namun juga harus melihat kondisi pasien. Sebelum dilakukan latihan berjalan, pasien duduk ongkang-ongkang di tepi bed. Tungkai yang sehat diturunkan dari bed terlebih dahulu, tungkai yang sakit diturunkan dengan bantuan dari terapis. Terapis menyangga dengan cara meletakkan satu tangan di bawah bagian distal tungkai atas dan yang lainnya di distal tungkai bawah. Setelah itu pasien diberdirikan dengan menggunakan dua axilla kruk, kemudian latihan berjalan di mulai non weight bearing dengan metode three point gait dan swing to.
D. Rencana Evaluasi Hasil Terapi

Rencana evaluasi yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan efek samping yang mungkin timbul dari program terapi yang diberikan. Rencana evaluasi pada kasus pasca operasi fraktur femur 1/3 distal yaitu pada tempat bekas operasi adalah : (1) oedema dengan antropometri yaitu menggunakan pita ukur, (2) nyeri dengan menggunakan Verbal Descriptive Scale (VDS), (3) lingkup gerak sendi dengan menggunakan goniometer, (4) nilai kekuatan otot dengan manual muscle testing (MMT), (5) kemampuan aktifitas fungsional dengan mengamati kemampuan transfer ambulasi pasien yaitu kemampuan berjalan serta melihat perkembangan jarak tempuh yang dapat dicapai pasien saat berjalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar