Sabtu, 28 Agustus 2010

alat-fisioterapi.com

alat-fisioterapi.com

Penatalaksanaan Osteoartritis  

Posted by jeffry


Osteoartritis yang termasuk kelompok pe-nyakit reumatik degeneratif ini merupakan penya-kit reumatik yang paling sering dijumpai, tidak mengenal perbedaan ras atau etnik serta lebih banyak menyerang wanita serta mereka dengan usia paruh baya atau usia lanjut. Rasio gender laki-laki terhadap wanita sebelum usia 45 tahun adalah sama, namun dengan meningkatnya usia dan terjadinya defisiensi hormonal pada wanita, maka penyakit ini lebih banyak dijumpai pada wanita. Prevalensi yang lebih tinggi pada genedr wanita ini berlaku baik untuk OA lokalisata atau OA generalisata.
Prevalensi kejadian OA pada mereka di ba-wah usia 45 tahun kurang dari 5%, namun akan meningkat tajam (terutama gambaran radiologik OA) setelah dekade ke-enam yang dapat men-capai 70 persen. Gambaran radiologik ini dapat dinilai melalui metoda grading atau indeks yang berbeda-beda baik untuk lutut atau tangan dan sendi lainnya. Mengingat tingginya prosentase kejadian OA radiologik, maka diperlukan satu pembakuan pembacaan radiologik terutama bila dilakukan suatu studi longitudinal jangka pan-jang. Sayangnya gambaran radiologik ini tidak berkesesuaian dengan manifestasi klinik, kecuali gambaran osteofit dan nyeri lutut pada pasien dengan OA lutut.
Di dalam masyarakat, angka kejadian OA bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya, demikian juga antara daerah di dalam satu negara. Angka ini di Amerika berkisar 12.0%. Di Indonesia terdapat dua penelitian berbasis masyarakat yang dilakukan tahun 1992 di Bandungan (Darmawan J) dan 1994 di Malang (Kalim H). Osteoartritis di Malang dijumpai sekitar 10.0% (daerah perkotaan), dan 13.5% di pedesaan. Namun survey masyarakat di Bandungan untuk daerah pedesaan ternyata jauh lebih rendah yaitu sekitar 5.4%. Memang untuk beberapa daerah (Indonesia atau negara lain) terdapat prevalensi yang lebih rendah, se-perti pada popluasi Goergia atau Victoria di Inggris.

Batasan Osteoartritis
Osteoartritis merupakan penyakit reumatik yang basis utamanya adalah kerusakan rawan sendi dimana hasil akhir dari proses tersebut be-rupa kegagalan sendi sebagai satu sistim organ. Karakteristik OA ditandai oleh adanya kehilangan rawan sendi fokal disertai dengan proses per-baikan (remodelling) atau respon tulang berupa pembentukkan osteofit / spur.

Patogenesis Osteoartritis
Konsep lama menyebutkan adanya proses pakai dan aus (wear and tear), sehingga terlihat pengikisan atau penipisan rawan sendi. Ternyata hal tersebut tidak dapat diterapkan sepenuhnya, karena beberapa hal yang menjadi hambatan diantaranya adalah terdapatnya proses OA pada persendian yang tidak banyak mengalami proses pembebanan biomekanik, tidak dapatc menjelas-kan proses kronisitas OA. Banyak penelitian yang mencoba mengungkapkan ketidakcocokkan teori lama tersebut, yaitu dijumpainya perbedaan antara rawan sendi pada penyakit OA dan proses penuaan (aging process), serta OA dapat diinduksi pada percobaan hewan yang distimu-lasi menggunakan zat kimia atau trauma buatan.
Sentral dari proses OA tersebut sebenarnya terdapat pada khondrosit yang merupakan satu-satunya sel hidup yang ada di dalam rawan sendi. Gangguan pada fungsi khondrosit itulah yang akan memicu proses patogenik OA.
Khondrosit akan mensintesis berbagai kom-ponen yang diperlukan dalam pembentukan ra-wan sendi, seperti proteoglikan, kolagen dan se-bagainya. Disamping itu ia akan memelihara keberadaan komponen dalam matriks arawan sendi melalui mekanisme turn over yang begitu dinamis. Dengan kata lain terdapat satu keseimbangan antara proses sintesis dan degradasi rawan sendi. Gangguan keseimbang-an ini yang pada umumnya berupa peningkatan proses degradasi, akan menandai penipisan rawan sendi dan selanjutnya kerusakan rawan sendi yang berfungsi sebagai bantalan redan kejut. Apakah sintesis matriks rawan sendi ini tidak terjadi ? Tidak, sintesis matriks rawan sendi tetap ada terutama pada awal proses patologik OA, namun kualitas matriks rawan sendi yang terbentuk tidak baik. Pada proses akhir kerusak-an rawan sendi, memang sintesis yang buruk tadi tidak mampu lagi mengatasi proses destruksi sendi yang cepat. Hal ini terlihat dari merosotnya produksi proteoglikan yang menandai menurun-nya fungsi khondrosit.
Khondrosit yang merupakan aktor tunggal pada proses ini akan dipengaruhi oleh faktor anabolik dan katabolik dalam mempertahankan keseimbangan sintesis dan degradasi. Faktor katabolik utama diperankan oleh sitokin Inter-leukin-1 (IL-1) dan tumour necrosis factor  (TNF) yang dikeluarkan oleh sel lain di dalam sendi. Sedangkan faktor anabolik diperankan oleh transforming growth factor (TGF) dan insulin-like growth factor-1 (IGF-1).
Perubahan patologik pada OA ditandai oleh kapsul sendi yang menebal dan mengalami fibro-sis serta distorsi. Sinovium mengalami keradang-an dan akan memicu terjadinya efusi serta pro-ses keradangan kronik sendi yang terkena. Per-mukaan rawan sendi akan retak dan terjadi fibrilasi serta fisura yang lama-kelamaan akan menipis dan tampak kehilangan rawan sendi fokal. Selanjutnya akan tampak jawaban tulang subkhondral berupa penebalan tulang, sklerotik dan pembentukkan kista. Pada ujung tulang dapat dijumpai pembentukan osteofit serta penebalan jaringan ikat sekitarnya. Oleh sebab itu pembesaran tepi tulang ini memberikan gambaran seolah persendian yang terkena itu bengkak.

Kajian Pasien dengan Osteoartritis
Pada pasien dengan OA, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum suatu pengobatan ditetapkan. Seringkali pengobatan terpaku pada penggunaan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) belaka. Padahal banyak pasien OA yang tidak mutlak memerlukan OAINS tersebut. Oleh sebab itu diperlukan kajian yang seksama terhadap pasien dengan OA.

Sumber nyeri
Pada dasarnya nyeri yang terjadi pada OA tidak selalu berkaitan dengan kerusakan rawan sendi itu secara langsung. Sumber nyeri dapat muncul dari tendon (tendinitis, entesitis), bursa sekitar sendi misalnya bursa supra patelaris pada sendi lutut, otot atau tulang subkhondral.
Apabila berkaitan dengan faktor biomekanik maka perhatikanlah pola pemakaian sendi oleh pasien OA yang bersangkutan. Kekakuan sendi dan nyeri yang diperberat oleh istirahat lebih mencerminkan suatu proses keradangan (OA inflamatif). Proses peningkatan tekanan intra-oseus akan memberikan rasa nyeri pada malam hari, sedangkan apabila pasien merasakan nyeri yang tiba-tiba menghebat, maka perlu dipikirkan akan terjadinya proses septik, nekrosis avaskuler atau sinovitis yang dipicu oleh deposisi kristal seperti kristal monosodium urat (MSU).

Identifikasi faktor risiko
Terdapat peran yang kuat dari beberapa faktor risiko untuk terjadinya OA, diantaranya adalah berat badan berlebih atau obesitas. Ke-naikan berat badan 5 kg akan meningkatkan risi-ko terjadinya OA 35% lebih besar, hal sebaliknya apabila berat badan diturunkan sebesar 2 IMT (indeks massa tubuh), maka risiko ini juga menurun sekitar 50%. Obesitas sebagai faktor risiko dipengaruhi oleh lamanya obesitas itu sendiri serta berapa lama seseorang tidak dalam keadaan obesitas lagi sebelum manifestasi OA muncul. Demikian pula faktor-faktor lainnya seperti kegiatan fisik yang banyak melibatkan sendi yang terkena, merokok, trauma terutama trauma mayor beberapa tahun sebelumnya serta trauma minor berulang jangka panjang.

Pemeriksaan fisik
Tetapkan apakah rasa nyeri berasal dari persendian (artikular) atau sekitar sendi (peri-artikular). Bila periartikular telusuri lebih rinci dari komponen mana di luar sendi yang betul-betul bertanggung jawab akan rasa nyeri tersebut. Pada nyeri artikular misalnya pada sendi lutut, tetapkan kompartemen mana yang lebih terkena. Apakah kompartemen medial, lateral atau patelo-femoral. Selanjutnya identifikasi ada tidaknya deformitas, kelemahan otot, keradangan lokal atau efusi. Perhatikan sendi lain yang tidak ter-kena apakah didapatkan pula proses OA. Apa-bila terdapat pada beberapa kelompok persen-dian maka lebih mengarah pada OA genera-lisata.

Petanda biologik
Dapat dilakukan pemeriksaan terhadap pro-ses sintesis maupun degradasi dari rawan sendi, walaupun tidak memberikan gambaran yang utuh akan proses keseimbangan di atas. Osteocalcin dapat dianggap sebagai petanda sintesis, se-dangkan deoxypyridynoline dapat dikatakan se-bagai petanda degradasi. Beratnya inflamasi sinovium dapat ditandai melalui pemeriksaan ter-hadap aktifitas enzim hyaluronidase (HAase).

Penatalaksanaan Osteoartritis
Dari sekian banyak modalitas yang dapat diberikan dalam penatalaksanaan OA, terdapat satu hal penting yang perlu mendapat perhatian yaitu tidak menyandarkan pengobatan dengan pemberian OAINS saja, apalagi diberikan dalam jangka panjang. Namun diperlukan satu kombi-nasi pengobatan farmakologik-medikamentosa dan non-farmakologik berupa rehabilitasi medik. Program penatalaksanaan OA dimulai pada upa-ya pencegahan, dan dilanjutkan sampai tahap rehabiltasi medik.

Pencegahan
Pada fase ini diperlukan identifikasi akan berbagai faktor risiko yang diketahui berperan dalam proses kejadian OA dan menetapkan faktor mana yang dapat diintervensi dan mana yang tidak dapat dilakukan tindakan apapun, seperti faktor usia dan gender. Semua faktor yang dapat diintervensi harus mendapat pe-nanganan yang memadai, misalnya program pengurangan berat badan yang seringkali men-jadi suatu momok yang sulit untuk diatasi oleh sebagian besar pasien dengan OA. Pasien dengan obesitas dan merasakan nyeri pada tungkainya sehingga mengakibatkan gangguan dalam mobilisasi, tentunya akan enggan me-lakukan latihan atau olah raga. Kedaan ini akan meningkatkan masalah yang telah ada, yaitu penambahan berat badan, memicu osteoporosis dan menjadikan faktor ini sebagai sirculus vitiosus. Faktor lain yang juga memungkinkan untuk diintervensi adalah segala kegiatan yang mengakibatkan trauma berulang. Hal ini dapat dijumpai pada kegiatan keseharian. Membuat suatu alat bantu yang tercakup sebagai upaya proteksi sendi dan juga konservasi energi, perlu dilakukan agar tidak menimbulkan kelainan atau tidak memperberat kondisi OA yang sudah diderita.

Perubahan gaya hidup
Terdapat beberapa kondisi yang merupakan bagian dari gaya hidup sehat untuk memelihara sendi dari faktor buruk, yaitu mempertahankan berat tubuh ideal, membiasakan diri untuk latihan atau olah raga yang teratur dan selalu usahakan pendekatan positif dalam menyelesaikan masa-lah. Secara khusus dapat dilakukan penguatan otot yang menunjang kestabilan sendi dan memberikan perhatian khusus bagi munculnya masalah spesifik yaitu dalam hal melakukan pekerjaan sehari-hari, melakukan pekerjaan profesi dan hal-hal lain seperti berbelanja dan sebagainya.

Terapi farmakologik
Terdapat berbagai jenis golongan obat yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah OA terutama menyangkut rasa nyeri, yaitu:
• Analgetikum sederhana
• Preparat topikal seperti OAINS, rubefacients atau capcaisin
• OAINS
• Injeksi steroid intra artikular
• Injeksi hialuronan intra artikular dan
• Disease modifying osteoarthritis drugs (DMOAD)

Pengobatan simptomatik biasanya dimulai dengan obat yang bekerja cepat serta diberikan jangka pendek, misalnya OAINS, analgetikum opioid atau antispasmodik. Untuk jangka panjang dapat diberikan berbagai obat seperti depo kortikosteroid intra artikular, hialuronan intra artikular, obat golongan nutraceutical seperti glukosamin sulfat, khondroitin sulfat; serta beberapa obat yang masih dalam penelitian se-perti manfaat orgotein intra artikular, diacerhein dan sebagaianya.
Menjadi suatu harapan yang besar apabila dapat diperoleh DMOADs untuk mengatasi pro-gresifitas kerusakan rawan sendi pada OA, namun hingga kini belum ada satupun yang memberikan hasil seperti diharapkan. Golongan obat yang pernah dicobakan adalah antibiotika tetrasiklin, glycosaminoglycan polysulphuric acid, glycosaminoglycan peptide complexes, pentosan polysulfate, terapi gentik, transplantasi stem cells, osteochondral graft dan growth factors dan sitokin.
Saat ini terdapat satu jenis obat yang ditujukan terhadap faktor katabolik rawan sendi yaitu anti tumour necrosis factor  (TNF) yang disebut etanercept. Obat ini bekerja pada fase G0 dari pembelahan sel dalam rangkaian interfase. Apakah obat ini mampu menjadi satu DMOADs yang dapat diandalkan nampaknya masih memerlukan beberapa tahun kedepan utnuk membuktikan hal itu.
Bagaimana dengan pemberian hormon pengganti (Hormone replacement therapy)? Ter-nyata belum banyak memberikan manfaat kecuali pada OA lutut. Namun demikian respon terhadap terapi hormonal ini akan memperkuat kaitan antara defisiensi hormon pada wanita pasca menopause dengan etiopatogenesis OA.
Simpulan
Osteoartritis ditandai oleh kerusakan rawan sendi dan proses jawaban tulang dengan terbentuknya osteofit serta hasil akhir kegagalan sendi sebagai suatu sistim organ.
Osteoartritis bukan hanya sekedar proses wear and tear belaka, namun ternyata terdapat banyak faktor yang terlibat dan menunjang hipotesis patogenik OA.
Diperlukan identifikasi dan intervensi terhadap faktor risiko yang dapat diubah yang ditujukan dalam upaya preventif atau per-lambatan proses patologik OA.
Penatalaksanaan OA tidak bersandar pada pemberian OAINS semata namun gabungan de-ngan modalitas non farmakologik menjadi satu paket yang bermanfaat.
Belum ditemukan satu DMOADs yang mam-pu menahan laju kerusakan rawan sendi atau bahkan menghentikan proses patologiknya.

Daftar Pustaka

1. Felson DT. Epidemiology of osteoarthritis. In: Brandt KD, Doherty M, Lohmander LS, eds. Osteoarthritis. Oxford: Oxford University Press. 1998: 13-22
2. K P Günther,a T Stürmer,b S Sauerland,a I Zeissig,a Y Sun,b S Kessler,a H P Scharf,a H Brenner,b W Puhla. Prevalence of generalised osteoarthritis in patients with advanced hip and knee osteoarthritis: The Ulm Osteoarthritis Study. Ann Rheum Dis 1998;57:717-723 (December)
3. S Kesslera, P Dieppeb, J Fuchsa, T Stürmerc, K P Günthera. Assessing the prevalence of hand osteoarthritis in epidemiological studies. The reliability of a radiological hand scale. Ann Rheum Dis 2000;59:289-292 (April)
4. Guy-Robert Auleleya, Bruno Giraudeaub, Maxime Dougadosa, Philippe Ravauda. Radiographic assessment of hip osteoarthritis progression: impact of reading procedures for longitudinal studies. Ann Rheum Dis 2000;59:422-427 (June)
5. Thorvaldur Ingvarsson, Gunnar Hägglund, L Stefan Lohmanderb. Prevalence of hip osteoarthritis in Iceland. Ann Rheum Dis 1999;58:201-207 ( April )
6. Hiroshige Nagaya,a Tatsuya Ymagata,b Sadako Ymagata,b Kazuto Iyoda,c Haruo Ito,c Yukiharu Hasegawa,a
7. Hisashi Iwataa. Examination of synovial fluid and serum hyaluronidase activity as a joint marker in rheumatoid arthritis and osteoarthritis patients (by zymography) Ann Rheum Dis 1999;58:186-188 ( March )
8. Sheila C O'Reilly, Ken R Muir, Michael Doherty. Effectiveness of home exercise on pain and disability from osteoarthritis of the knee: a randomised controlled trial. Ann Rheum Dis 1999;58:15-19 ( January )
9. Peter Lanyon, Sheila O'Reilly, Adrian Jones, Michael Doherty. Radiographic assessment of symptomatic knee osteoarthritis in the community: definitions and normal joint space. Ann Rheum Dis 1998;57:595-601 ( October )
10. Sheila C O'Reilly, Adrian Jones, Ken R Muir, Michael Doherty. Quadriceps weakness in knee osteoarthritis: the effect on pain and disability. Ann Rheum Dis 1998;57:588-594 ( October )
11. T D Spector, D Nandra, D J Hart, D V Doyleb. Is hormone replacement therapy protective for hand and knee osteoarthritis in women?: The Chingford study. Ann Rheum Dis 1997;56:432-434 ( July )
12. EB Henderson, EC Smith, F Pegley and DR Blake. Intra-articular injections of 750 kD hyaluronan in the treatment of osteoarthritis: a randomised single centre double-blind placebo- controlled trial of 91 patients demonstrating lack of efficacy. Ann Rheum Dis. 1994, 53: 529-534
13. Waldron HA. Prevalence and distribution of osteoarthritis in a population from Georgian and early Victorian London. Ann Rheum Dis, 1991, 50:301-307
14. Claessens AA, Schouten JS, van den Ouweland FA and Valkenburg HA. Do clinical findings associate with radiographic osteoarthritis of the knee? Ann Rheum Dis.1990,49: 771-774
15. Cushnaghan J, Cooper C, Dieppe P, Kirwan J, McAlindon T and McCrae F. Clinical assessment of osteoarthritis of the knee. Ann Rheum Dis. 1990,49: 768-770 .
16. Felson DT, Zhang Y, Hannan MT, Naimark A, Anderson JJ. Weight loss reduces the risk for symptomatic knee osteaorathritis in women. Ann Int Med. 1992;116:535-9

Nyeri Pinggang Bawah Akibat Osteoporosis

Posted by jeffry
TULANG MERUPAKAN BAGIAN TUBUH YANG DINAMIS
Walaupun tulang nampaknya tidak pernah berubah, namun ternyata tulang bukan bagian tubuh yang statis, tetapi merupakan bagian tubuh yang dinamis. Dalam kehidupan sehari-hari dinamika dari tulang tersebut dapat dilihat secara mikroskopik yang memperlihatkan adanya proses penyerapan (resorpsi) tulang yang hilang oleh karena mengalami penyerapan dan ada bagian yang baru terbentuk. Penyerapan tulang dilakukan oleh sel yang disebut osteoklast, sedangkan pembentukan tulang oleh sel yang disebut osteoblast. Proses ini ber-langsung dari awal kehidupan dan berlanjut terus seumur hidup.
Pada awal kehidupan maka pembentukan tulang terjadi lebih besar dari penyerapan, sehingga tulang terbentuk sampai kepadatan maksimal. Puncak kepadatan tulang ( Peak bone mass density) tercapai pada usia sekitar 20-25 tahun. Antara usia 25-35 tahun maka kepadatan tulang relatif konstan, karena ada keseimbangan antara proses penyerapan dan pembentukan tulang baru. Setelah usia tersebut, walaupun setiap hari terjadi pembentukan tulang baru, tetapi terjadi pengurangan kepadatan akibat proses penyerapan lebih besar dari proses pembentukan.

PUNCAK KEPADATAN TULANG
Puncak kepadatan tulang yang dicapai pada usia 20-25 tahun pada tiap orang berbeda-beda, jadi pada usia tersebut ada yang mempunyai kepadatan tulang yang keras (sangat padat), ada pula yang kurang padat. Untuk tercapainya puncak kepadatan tulang yang sempurna (cukup padat), maka dibutuhkan berbagai syarat, antara lain :
1. Konsumsi kalsium yang cukup, baik dari susu atau sayuran maupun dari suplemen.
Hal ini disebabkan karena 99% kalsium tubuh berada di tulang, sehingga bila konsumsi kalsium tulang kurang maka pembentukan tulang baru akan terhambat, sehingga puncak kepadatan tulang tidak tercapai dengan sempurna (tulang kurang padat)
2. Aktifitas fisik yang cukup dan teratur
Untuk pembentukan tulang baru diperlukan rangsangan terus menerus pada tulang, berupa benturan-benturan dalam tulang. Sejak dini seseorang harus tetap aktif bergerak, baik itu dalam bentuk olah-raga, latihan fisik maupun dalam kegiatan sehari-hari. Orang yang sejak balita kurang bergerak (sedentary), misalnya kurang berjalan, kurang gerak,hanya naik turun mobil, banyak duduk didepan TV dan sebagainya, maka puncak kepadatan tulangnya tidak sempurna, oleh karena itu sejak dini seseorang harus tetap bergerak untuk "menabung tulang" agar tulangnya cukup padat.
3. Cukup vitamin D dan sinar matahari
Sinar matahari penting untuk pembentukan vitamin D, yang diperlukan untuk pembentukan tulang baru. Di negara yang kurang sinar matahari diperlukan suplemen vitamin D yang cukup. Indonesia kaya akan sinar matahari, sehingga penduduknya cukup beruntung tidak kekurangan vitamin D.
4. Peranan hormon sex
Hormon sex wanita yaitu estrogen dan hormon sex pria yaitu testoteron sangat berperan untuk mencegah terjadinya penyerapan tulang.
Pada wanita yang tidak pernah haid atau mengalami menopause dini akibat berbagai penyakit maka puncak kepadatan tulang tidak mencapai sempurna, sehingga tulang yang terbentuk kurang padat dan dikemudian hari akan lebih cepat meng- alami keropos tulang (osteoporosis).
Puncak kepadatan tulang pada usia 20-25 tahun sangat penting, karena seperti disebutkan diatas, setelah usia 35 tahun akan terjadi pengurangan kepadatan tulang sebesar 1-2% /tahun, sebagai akibat penyerapan lebih besar dari pembentukan tulang.
Pada wanita usia pasca-menopause (50-60 tahun), terjadi penurunan kadar hormon estrogen dalam tubuh yang menyebabkan kerja osteoklast (sel yang berfungsi untuk menyerap tulang) berlebihan, sehingga proses penyerapan tulang akan lebih banyak dan berkurangnya kepadatan tulang akan lebih cepat.
Pada pria usia 50-60 tahun kadar testoteron relatif lebih stabil, sehingga proses penyerapan tulang berlangsung lambat.
Pada usia lanjut, baik pada pria maupun wanita akan terjadi penurunan pembentukan tulang yang berakibat pula makin berkurangnya kepadatan tulang.
Apabila puncak kepadatan tulang pada seseorang individu pada usia 20-25 tahun tidak mencapai sempurna (kurang padat) dan pada usia sesudahnya individu tersebut kurang aktif bergerak atau didapatkan faktor risiko tertentu, maka pada wanita pasca-menopause dapat terjadi pengurangan kepadatan tulang sampai tingkat osteoporosis ( keropos tulang).
Osteoporosis dapat pula terjadi pada usia lanjut, dimana pembentukan tulang baru sudahsangat menurun.
Osteoporosis ialah suatu keadaan dimana rangka tulang tubuh tidak dapat lagi menahan berat badan dan akan terjadi patah tulang akibat suatu trauma ringan, yang pada keadaan tulang normal trauma seringan itu tidak berakibat apa-apa.
Terjadinya patah tulang (fraktur) tersebut akibat kepadatan tulang yang sangat berkurang (keropos) sehingga telah melewati batas ambang patah tulang ( fracture threshold).
Bila diumpamakan maka hal tersebut dapat diibaratkan sebagai sepotong kayu yang bagian dalamnya telah keropos dimakan rayap, sedangkan bagian luarnya nampak masih utuh.
Kayu yang keropos ini bila dipukul ringan saja akan patah, sedangkan pada keadaan normal maka pukulan seringan itu akan tidak berakibat apa-apa.

OSTEOPOROSIS MENGAKIBATKAN NYERI PINGGANG BAWAH
Keluhan yang sering dirasakan oleh seorang penderita osteoporosis ialah nyeri pinggang bawah, mengapa hal tersebut terjadi akan diterangkan dibawah ini.
Pada dasarnya tulang manusia dapat dibagi dalam 2 jenis tergantung dari kepadatannya, yaitu :
1.Tulang trabekuler, yang mempunyai anyaman kurang rapat.
Jenis tulang ini ditemukan terutama pada seluruh tulang belakang (tulang leher, tulang dada , tulang pinggang dan tulang ekor) dan bagian leher dari tulang paha (collum femur). Bentuk anyaman yang kurang rapat ini ditujukan agar tulang tersebut cukup elastis untuk menerima beban. Bila tulang tersebut cukup elastis maka setiap benturan yang terjadi waktu bergerak atau bekerja dapat diredam sehingga individu tersebut tidak merasa nyeri
2.Tulang kortikal, yang mempunyai anyaman lebih rapat.
Jenis tulang ini ditemukan terutama pada semua tulang panjang dan berfungsi sebagai penahan rangka tubuh.
Pada seseorang yang puncak kepadatan tulangnya pada usia 20-25 tahun tidak tercapai sempurna, maka pada usia pasca menopause atau usia lanjut, jenis tulang yang terlebih dahulu mengalami osteoporosis ialah jenis tulang trabekuler. Hal ini menyebabkan yang bersangkutan akan mengeluh nyeri pinggang bawah karena tulang tersebut selain mengalami osteoporosis juga merupakan bagian yang paling sering menerima beban disaat kita duduk, berdiri atau bergerak.
Dengan memperhatikan uraian diatas maka osteoporosis dapat dibagi dalam 2 tipe, yaitu :
1. Tipe 1 atau osteoporosis pasca-menopause
2. Tipe 2 atau osteoporosis senile (usia lanjut)
yang perbedaannya dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

TABEL 1. PERBEDAAN ANTARA OSTEOPOROSIS TIPE 1 DENGAN 2
-------------------------------------------------------------
TIPE 1 (PASCA-MENOPAUSE) TIPE 2 (SENILE)
-------------------------------------------------------------
1.Umur 50 - 55 tahun > 65 tahun

2.Jenis kelamin Wanita > Pria Wanita=Pria

3.Tulang yang Trabekuler > Trabekuler =
mengalami osteo- Kortikal kortikal
porosis

4.Penyebab utama Kekurangan Proses menua
hormon estrogen
------------------------------------------------------------

GEJALA,TANDA DAN DIAGNOSIS OSTEOPOROSIS
Gejala dan tanda yang perlu dicurigai adanya osteoporosis ialah :
1. Nyeri pinggang bawah pada wanita pasca-menopause atau pada pria dan wanita usia lanjut.
2. Terjadinya patah tulang (fraktur) akibat suatu trauma ringan, yang pada keadaan normal trauma seringan itu tidak berakibat apa-apa. Tulang yang sering fraktur ialah tulang belakang bagian pinggang dan leher tulang paha.
3. Tinggi badan makin lama makin bertambah pendek, disertai tulang belakang makin lama makin bungkuk (Kifosis).
4. Nyeri pada tulang dan otot akibat perubahan postur tubuh.
5. Gigi-geligi keropos,goyah dan tanggal.

Diagnosis osteoporosis ditegakkan atas dasar gejala tersebut diatas ditambah dengan pemeriksaan radiologik. Pemeriksaan radiologik biasa (X-ray) dapat menunjukkan adanya gambaran osteoporosis, tetapi biasanya sudah terlambat, karena dengan X-ray maka osteoporosis baru terlihat setelah terjadi kehilangan kepadatan tulang lebih dari 40%. Alat yang lebih sensitif disebut densitometer tulang , yang dapat mendeteksi lebih dini, sayang sekali biaya pemeriksaan jauh lebih mahal. Padahal deteksi dini penting dalam rangka pencegahan dan pengobatan osteoporosis.

FAKTOR RISIKO TERJADINYA OSTEOPOROSIS
Tidak semua wanita pasca-menopause atau orang berusia lanjut akan mengalami patah tulang akibat osteoporosis.
Selain faktor terpenting ialah tercapainya kepadatan tulang maksimal yang sempurna pada usia 20-25 tahun, maka ada beberapa faktor risiko yang perlu diperhatikan, yaitu :
1. Faktor konstitusional :
a. Wanita bertubuh kecil dan kurus
b. Haid pertama (menarche) lambat
c. Menoupause dini
d. Riwayat keluarga dengan osteoporosis
e. Latar belakang etnik :
Etnik Kaukasia > Asia/Hispanik > Afrika

2. Faktor gaya hidup :
a. Peminum alkohol
b. Perokok berat
c. Asupan kalsium sangat rendah
d. Kurang gerak/kurang aktif
e. Diet tinggi garam ?
f. Bukan vegetarian
g. Diet menurunkan berat badan yang terlalu ketat

3. Akibat penyakit dan obat-obatan :
a. Kedua ovarium diangkat (ooforektomi)
b. Amenorrhoe berkepanjangan
(tidak haid berkepanjangan)
c. Hipogonadism pada pria
d. Lambung dan usus kecil diangkat (reseksi)
e. Hiperparatiroidisme
f. Penggunaan obat glukokortikoid berlebihan
g. Hipertiroidisme
h. Penyakit ginjal

OSTEOPOROSIS SEBAGAI MASALAH KESEHATAN MASYARAKAT
Osteoporosis merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di negara maju. Sebagai contoh di Inggris maka 1 dari 4 wanita berusia diatas 60 tahun menderita osteoporosis dan sebagian besar mengalami fraktur dari leher tulang paha.
Fraktur leher tulang paha merupakan penyakit yang serius, karena angka kematiannya dapat mencapai 20% . Lebih lanjut lagi 50% dari penderita akan mengalami ketergantungan pada orang lain. Contoh lain ialah di Australia dengan populasi sebesar 17 juta orang, maka 20.000 tempat tidur rumah sakit digunakan untuk penderita osteoporosis. Saat ini di Indonesia, osteoporosis masih belum menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat. Tetapi dengan makin bertambahnya usia harapan hidup bangsa Indonesia sebagai hasil dari pembangunan dan makin bertambahnya penduduk Indonesia yang berusia lanjut, diperkirakan osteoporosis akan menjadi pula salah satu masalah kesehatan masyarakat di masa mendatang.

PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN OSTEOPOROSIS

Pencegahan osteoporosis meliputi beberapa aspek dibawah ini, yaitu :
1. Kecukupan akan kalsium .
Kecukupan asupan kalsium harian yang dianjurkan pada pria dan wanita pramenopause ialah 800-1000 mg.
Untuk wanita pascamenopause dan masa menyusui (laktasi) diperlukan asupan yang lebih besar sekitar 1.000-1.200 mg.
Perlu diperhatikan bahwa puncak kepadatan tulang tercapai pada usia 20-25 tahun, sehingga diet tinggi kalsium sangat penting bagi remaja dan dewasa muda. Perlu diingat pula bahwa diet yang terlalu banyak protein dari daging/ikan dan banyak garam akan mengakibatkan banyak kalsium terbuang lewat urine.
Makanan yang merupakan sumber kalsium ialah olahan susu seperti susu,keju,yogurt, kemudian sayuran hijau,kacang, kedelai, ikan sardin,salmon,daging,ayam dan suplemen kalsium.
2. Aktifitas fisik sedang dan teratur, terutama latihan yang bersifat membawa beban (weight-bearing)
3. Terapi pengganti hormon (Hormon replacement therapy).
Terapi pengganti hormon terutama untuk wanita pasca-menopause dengan menggunakan kombinasi estrogen dan progesteron.
Pengobatan pada kasus osteoporosis yang nyata ialah dengan memberikan obat-obatan , antara lain yang telah diakui manfaatnya ialah : Terapi pengganti hormon, calcitriol (Rocatrol), kalsitonin (Miacalcic), Biphosphonate (Ostac) , steroid anabolik (Deca-durabolin), fluoride dan Vitamin D.

KESIMPULAN
Osteoporosis merupakan salah satu penyebab nyeri pinggang bawah, yang di Indonesia akan makin sering dijumpai, karena sebagai dampak dari pembangunan populasi usia lanjut makin hari makin bertambah . Pencegahan sejak dini merupakan kunci yang paling utama.

Konsep Nyeri

Konsep Nyeri

 

 Defenisi Nyeri

Oleh IASP (international Association for the Study of Pain), nyeri di definisikan sebagai “an unpleasant sensory and emotional experience associated with actual or potential tissue damage or described in term of such damage”.
Dari defenisi ini dapat di tarik dua kesimpulan. Yang pertama bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata. Jadi nyeri terjadi karena adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception). Yang kedua, perasaan yang sama juga dapat timbul tanpa adanya kerusakan jaringan yang nyata. Jadi nyeri dapat terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain without nociception). baca selengkapnya….Dengan kata lain, nyeri pada umumnya terjadi akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata, keadaan mana disebut sebagai nyeri akut misalnya nyeri pasca bedah. Namun terdapat juga suatu keadaan dimana timbul keluhan nyeri tanpa adanya kerusakan jaringan yang nyata atau nyeri timbul setelah proses penyembuhan usai, keadaan mana disebut sebagai nyeri kronik misalnya nyeri post-herpetic, nyeri phantom atau nyeri trigeminal. Perjalanan Nyeri (Nociceptive Pathway). 
Antara kerusakan jaringan (sebagai sumber stimuli nyeri) sampai dirasakan sebagai persepsi nyeri terdapat suatu rangkaian proses elektrofisiologik yang secara kolektif disebut sebagai nosisepsi (nociception). Ada empat proses yang jelas yang terjadi pada suatu nosisepsi, yakni ;
1.         Proses Transduksi (Transduction), merupakan proses dimana suatu stimuli nyeri (noxious stimuli) di rubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf (nerve ending). Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri).
2.         Proses Transmisi (Transmison), dimaksudkan sebagai penyaluran impuls melalui saraf sensoris menyusul proses transduksi. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya impuls disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks serebri melalui neuron ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.
3.         Proses Modulasi (Modulation), adalah proses dimana terjadi interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan imput nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis. Jadi merupakan proses acendern yang di kontrol oleh otak. Sistem analgesik endogen ini meliputi enkefalin, endorfin, serotonin, dan noradrenalin memiliki efek yang dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Kornu posterior ini dapat diiabaratkan sebagai pintu yang dapat tertetutup atau terbukanya pintu  nyeri tersebut diperankan oleh sistem analgesik endogen tersebut di atas. Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat subyektif orang per orang.
4.         Persepsi (perception),  adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.
 Respons Stress (Stress Responds) 
Respons tubuh terhadap suatu pembedahan atau nyeri akan menghasilkan reaksi endokrin dan immonologik, yang secara umum disebut sebagai respons stress. Respons stress ini sangat merugikan penderita karena selain akan menurunkan cadangan dan daya tahan tubuh, meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung, mengganggu fungsi respirasi dengan segala konsekuensinya, juga akan mengundang resiko terjadinya tromboemboli yang pada gilirannya meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Meskipun berbagai tehnik pengelolaan nyeri telah banyak dikembangkan, namun mengontrol nyeri pascabedah per-se, tidak selalu menjadi jaminan untuk tidak terjadinya respons stress yang turut berperan dalam prognosis penderita pasca bedah.
 Hipersensitifitas dan plastisitas Susunan Saraf. 
Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa menyusul suatu trauma atau operasi maka input nyeri dari perifer ke sentral akan mengubah ambang reseptor nyeri baik di perifer maupun di sentral (kornu posterior medulla spinalis). Kedua reseptor nyeri tersebut di atas akan menurunkan ambang nyerinya, sesaat setelah terjadi input nyeri.
Perubahan ini akan menghasilkan suatu keadaan yang disebut sebagai hipersensitifitas baik perifer maupun sentral. Perubahan ini dalam klinik dapat dilihat, dimana daerah perlukaan dan sekitarnya akan berubah menjadi hiperalgesia. Daerah tepat pada perlukaan akan berubah menjadi allodini, artinya dengan stimulasi lemah, yang normal tidak menimbulkan rasa nyeri, kini dapat menimbulkan rasa nyeri, daerah ini disebut juga sebagai hiperalgesia primer. Di lain pihak daerah di sekitar perlukaan yang masih nampak normal juga berubah menjadi hiperalgesia, artinya dengan suatu stimuli yang kuat, untuk cukup menimbulkan rasa nyeri, kini dirasakan sebagai nyeri yang lebih hebat dan berlangsung lebih lama, daerah ini juga disebut sebagai hiperalgesia sekunder.
Kedua perubahan tersebut di atas, baik hiperalgesia primer maupun hiperalgesia sekunder merupakan konsekuensi terjadinya hipersensitifitas perifer dan sentral menyusul suatu input nyeri akibat suatu trauma atau operasi. Ini berarti bahwa susunan saraf kita, baik susunan saraf perifer maupun susunan saraf sentral dapat berubah sifatnya menyusul suatu input nyeri yang kontinyu. Dengan kata lain, susunan saraf kita dapat disamakan sebagai suatu kabel yang kaku (rigid wire), tapi mampu berubah sesuai dengan fungsinya sebagai alat proteksi.
Kemampuan sususnan saraf kita yang dapat berubah mirip dengan plastik disebut sebagia plastisitas susunan saraf (plasticity of the nervous system). Analgesia Preemptif (Preemptive analgesia) Sekali susunan saraf mengalami plastisitas, berarti akan menjadi hipersensitif terhadap suatu stimuli dan penderita akan mengeluh dengan nyeri yang lebih hebat sehingga dibutuhkan dosis obat analgesik yang tinggi untuk mengontrolnya. Atas dasar itulah maka untuk mengurangi keluhan nyeri pasca bedah, dilakukan upaya-upaya untuk mencegah terjadinya plastisitas susunan saraf. Salah satu cara untuk mengurangi plastisitas tersebut pada suatu pembedahan elektif adalah dengan menggunakan blok saraf (epidural/spinal), sebab dengan demikian input nyeri dari perifer akan terblok untuk masuk ke kornu posterior medulla spinal. Dilain pihak jika trauma terjadi sebelum operasi, maka pemberian opioid secara sistemik dapat mengembalikan perubahan plastisitas susunan saraf kembali menjadi normal. Upaya-upaya mencegah terjadinya plastisitas ini disebut sebagai analgesia preemptif (preemptive analgesia), artinya mengobati nyeri sebelum terjadi (to treat pain before it occurs). Dengan cara demikian keluhan nyeri pascabedah akan sangat menurun dibandingkan dengan keluhan nyeri pascabedah penderita yang dioperasi dengan fasilitas anastesi umum. Hal ini telah banyak dibuktikan melalui penelitian-penelitian klinik. Analgesia Balans (Balanced Analgesia) Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya bahwa konsep analgesia balans adalah upaya mengintervensi nyeri pada proses perjalanannya yakni pada proses transduksi, transmisi dan proses modulasi. Jadi merupakan intervensi nyeri yang bersifat terpadu dan berkelanjutan, yang diilhami oleh konsep plastisitas dan analgesia preemptif seperti disebutkan di atas.Pengalaman menunjukkan bahwa dengan menggunakan analgesia preemptif, pada awalnya akan diperoleh hasil yang cukup baik, tapi cara ini mempunyai keterbatasan waktu. Tidak mungkin analgesia preemptif dapat dipertahankan beberapa hari sampai proses penyembuhan usai. Selain iti epidural kontinyu dengan menggunakan anastesi lokal, juga memiliki keterbatasan seperti disebutkan sebelumnya.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa analgesia preemptif, walaupun hasilnya sangat baik terutama dalam mencegah terjadinya plastisitas pada kornu posterior, namun memiliki keterbatasan, yakni sulitnya dipertahankan selama proses penyembuhan pascabedah. Disinilah keunggulan dari analgesia balans dimana intervensi nyeri dilakukan secara multimodal dan berkelanjutan. Multimodal, dimaksudkan bahwa intervensi dilakukan pada ketiga proses perjalanan nyeri yakni pada proses transduksi dengan menggunakan NSAID, pada proses transmisi dengan anastetik lokal, dan pada proses modulasi dengan opioid.
Dengan cara ini terjadi penekanan pada proses transduksi dan peningkatan proses modulasi, guna mencegah terjadinya proses hipersensitivitas baik di perifer maupun di central. Dengan kata lain, analgesia balans dapat menghasilkan selain pain free juga stress responses free. Dengan regimen analgesia balans ini akan menghasilkan suatu analgesia pascabedah yang secara rasional akan menghasilkan analgesia yang optimal bukan saja waktu istirahat, tapi juga dalam keadaan mobilisasi.
Sumber: Diktat Sumber Fisis 

 

Penatalaksanaan fisioterapi pada fraktur dengan pemasangan illizarov 

1.      Definisi.
illiazarov
            Fraktur cruris sepertiga distal adalah terputusnya hubungan kontinuitas tulang tibia dan fibula pada daerah sepertiga bawah tungkai bawah (Apply, 1995).
            Ilizarov, Bone lengthening, Bone distraction osteogenesis atau Callotaxis adalah suatu istilah yang sama dalam program pemanjangan tulang. Ilizarov dikembangkan pertama kali oleh seorang dari Siberia Rusia yang bernama Gabriel Abramovich Ilizarov. Ilizarov adalah suatu alat eksternal fiksasi yang berfungsi untuk menjaga agar tidak terjadi pergeseran tulang dan untuk membantu dalam proses pemanjangan tulang (Ismail Maryanto, 2003).

Indikasi pemasangan Ilizarov : (1) Menyamakan panjang lengan atau tungkai yang tidak sama, (2) Menyamakan dan menumbuhkan daerah tulang yang hilang akibat patah tulang terbuka yang hilang, (3) Membuang tulang yang infeksi dan diisi dengan cara menumbuhkan tulang yang sehat, (4) Menambah tinggi badan,baca selengkapnya….
            Kontra indikasi pemasangan Ilizarov : (1) Open fraktur dengan soft tissue yang perlu penanganan lanjut yang lebih baik bila dipasang single planar fiksator, (2) Fraktur intra artikuler yang perlu ORIF, (3) Simple fraktur (bisa dengan pemasangan plate and screw nail wire), (3) Fraktur pada anak (fresh).
            Prosedur pemutaran Ilizarov : (1) Pada rod (batang berulir) diameter 8 mm pemutaran penuh satu lingkaran (360°) setara dengan pergerakan 1,2 mm,  (2) Pada rod 6 mm setara dengan  1 mm, (3) Proses pemanjangan tulang dalam sehari maksimal 1 mm dan dibagi dalam beberapa kali siklus pemutaran.
            Kekurangan dari system Ilizarov adalah (1) Waktu operasi lama, (2) Perawatan lama perlu kerja sama yang baik dengan pasien, (3) Nyeri, (4) Potensial terjadi gangguan neurovaskuler, (5) Penderita harus kontrol secara teratur, (6) Siap secara psikologis bagi pemakainya, (7) Kaku Sendi. (Ismail Maryanto, 2003).
2.   Patologi.
            Pada tindakan operasi pemanjangan tulang tibia dengan menggunakan ilizarov maka prosedur pemasangannya, terlebih dahulu akan dilakukan osteotomi atau pemotongan tulang kemudian ditempelkan lagi dan dilakukan fiksasi dengan alat-alat fiksator eksterna (Ismail Maryanto, 2003). Pada tindakan operasi maka   akan dilakukan incisi, sehingga akan terjadi kerusakan jaringan lunak di bawah kulit maupun pembuluh darah yang mengakibatkan terjadinya odema, nyeri, dan penurunan lingkup gerak sendi. Menurut Dandy (1993) yang dikutip oleh Hanssenkam (1999), bahwa pada dasarnya penyembuhan pada cidera jaringan lunak ada 3 tahap yaitu injury, inflamation, dan repair.
 a.      Injury
Pada tahap ini ,jaringan lunak yang disayat pada proses operasi menyebabkan luka dan perdarahan serta kematian beberapa jaringan tersebut. Pada ruang incisi akan terjadi perdarahan yang kemudian akan diikuti penggumpalan. Setelah itu tubuh akan mengeluarkan leukosit untuk fagositosis jaringan yang mati.
b.      Inflamation
.Pada masa ini juga terdapat tanda-tanda peradangan seperti bengkak, nyeri, teraba panas, dan kemerah-merahan, dan kehilangan fungsi. Pada tahap ini karena terjadi kerusakan pada jaringan lunak akan menstimulus pengeluaran zat-zat kimiawi dari dalam tubuh yang membuat nyeri seperti histamin dan bradykinin. Bengkak terjadi karena peimbunan exudat dibawah kulit. Teraba panas dan kemerah-merahan terjadi karena perubahan vaskuler berupa vasodilatasi pembuluh darah, sehingga darah banyak terkonsentrasi pada luka tersebut, (Lachmann,1988).
c.       Repair
Pada tahap ini penyembuhan terjadi dengan mengganti jaringan yang rusak atau hilang dengan jaringan subtitusi (jaringan pengganti). Jaringan subtitusi yang mengganti jaringan asal yang rusak atau hilang adalah jaringan kolagen (collagen), sehingga akan timbul fibrosis yang akhirnya akan berwujud sebagai jaringan parut (cicatrix).
Pada tindakan operasi, tulang yang mengalami perpatahan akan disambung kembali. Menurut Apley (1995), secara fisiologis tulang yang mengalami perpatahan mempunyai kemampuan menyambung. Proses penyambungan tulang dibagi dalam  5 fase, yaitu :
a.       Fase Hematoma
Pada saat terjadi fraktur pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur, yang tidak mendapat persediaan darah akan mati.
b.      Fase Proliferasi
Setelah fraktur terdapat reaksi radang akut yang disertai proliferasi sel dibawah periosteum dan di dalam saluran medula akan tertembus. Sel-sel ini merupakan awal dari osteoblast, yang akan melepaskan substansi interseluler. Jaringan seluler mengelilingi masing-masing fragmen yang akan menghubungkan tempat fraktur. Hematoma membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang kedalam daerah itu.
c.       Fase pembentukan kalus.
Jaringan seluler berubah menjadi osteoblast dan osteoklast. Osteoblast melepaskan matrik interseluler dan polisakarida yang akan menjadi garam kalsium dan mengendap disitu sehingga terjadi jaringan kalus. Tulang yang dirangkai (woven bone) muncul pada kalus. Tulang yang mati di bersihkan.
d.      Fase Konsolidasi
Aktivitas osteoklast berlanjut, tulang yag dirangkai digantikan oleh tulang lamelar dan fraktur dipersatukan secara kuat.
  
e.       Fase Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang padat. Tulang yang baru berbentuk sehingga mirip dengan struktur normal.
 A.     Teknologi Intervensi Fisiot erapi.
            Terapi latihan adalah salah satu modalitas fisioterapi dengan menggunakan gerak tubuh baik secara active maupun passive untuk pemeliharaan dan perbaikan kekuatan, ketahanan dan kemampuan kardiovaskuler, mobilitas dan fleksibilitas, stabilitas, rileksasi, koordinasi,  keseimbangan dan kemampuan fungsional (Kisner,1996). Teknologi intervensi Fisioterapi yang dapat digunakan antara lain :
1.   Positioning
Dengan mengelevasikan tungkai yang sakit maka dengan posisi ini bermanfaat untuk mengurangi oedem.
2.      Rileks passive movement
Merupakan gerakan yang murni berasal dari luar atau terapis tanpa disertai gerakan dari anggota tubuh pasien. Gerakan ini bertujuan untuk melatih otot secara pasif, oleh karena gerakan berasal dari luar atau terapis sehingga dengan gerak rileks passive movement ini diharapkan otot yang dilatih menjadi rilek maka menyebabkan efek pengurangan atau penurunan nyeri akibat incisi serta mencegah terjadinya keterbatasan gerak serta menjaga elastisitas otot (Kisner, 1996). Mekanisme penurunan nyeri oleh gerakan rileks passive movement sebagai berikut : adanya stimulasi kinestetik berupa gerakan rileks pasif movement yang murni berasal dari luar atau terapis tanpa disertai gerakan dari anggota tubuh pasien akan merangsang muscle spindle dan organ tendo golgi dalam pengaturan motorik, fungsi dari muscle spindle adalah (1) mendeteksi perubahan panjang serabut otot, (2) mendeteksi kecepatan perubahan panjang otot, sedangkan fungsi dari organ tedo golgi adalah mendeteksi ketegangan yang bekerja pada tendo golgi saat otot berkontraksi (Guyton, 1991). Dengan terstimulasinya muscle spindle dan organ tendo golgi lewat gerakan rileks passive movement akan  mempengaruhi mekanisme kontraksi dan rileksasi otot, yaitu bahwa ion-ion calsium secara normal berada dalam ruang reticulum sarcoplasma. Potensial aksi menyebar lewat tubulus transversum dan melepaskan Ca 2+. Filamen-filamen actin (garis tipis) menyelip diantara filamen-filamen myosin, dan garis-garis  bergerak saling mendekati. Ca 2+ kemudian dipompakan kedalam reticulum sarcoplasma dan otot kemudian mengendor (Chusid, 1993). Dengan kedaaan otot yang sudah mengendor maka penurunan nyeri dapat terjadi melalui mekanisme-mekanisme sebagai berikut: (1) Tidak ada lagi perbedaan tekanan intramuscular yang menekan nociceptor sehingga nociceptor tidak terangsang untuk menimbulkan nyeri, (2) Dengan gerakan rileks passive movement yang berulang-ulang maka nociceptor akan beradaptasi terhadap nyeri. Suatu sifat khusus dari semua reseptor sensoris adalah bahwa mereka beradaptasi sebagian atau sama sekali terhadap rangsang mereka setelah suatu periode waktu. Yaitu, bila suatu rangsang sensoris kontinu bekerja untuk pertama kali, mula-mula reseptor tersebut bereaksi dengan kecepatan impuls yang sangat tinggi, kemudian secara progresif makin berkurang sampai akhirnya banyak diantaranya sama sekali tidak bereaksi lagi . Hal ini dapat pula untuk menentukan dosis gerakan rileks passive movement agar dapat menstimulasi muscle spindle.
 Mekanisme umum dari adaptasi dibagi dua yaitu : (1) Sebagian adaptasi disebabkan oleh penyesuaian didalam struktur reseptor itu sendiri, (2) Sebagian disebabkan oleh penyesuaian didalam fibril saraf terminal. (Guyton, 1991)           (3) Dengan mengendornya otot melalui gerakan rileks passive movement akan mempengaruhi spasme otot dan iskemi jaringan sebagai penyebab nyeri.  Spasme otot sering menimbulkan nyeri alasanya mungkin dua macam, yaitu : (1) Otot yang sedang berkontraksi menekan pembuluh darah intramuscular dan mengurangi atau menghentikan sama sekali aliran darah, (2) Kontraksi otot meningkatkan kecepatan metabolisme otot tersebut. Oleh karena itu , spasme otot mungkin menyebabkan iskemi otot relatif sehingga timbul nyeri iskemik yang khas. Penyebab nyeri pada iskemik belum diketahui, salah satu penyebab nyeri pada iskemik yang diasumsikan adalah pengumpulan sejumlah besar asam laktat didalam jaringan, yang terbentuk sebagai akibat metabolisme anaerobic yang terjadi selama iskemik, tetapi, mungkin pila zat kimia lain, seperti bradikinin dan poliopeptida, terbentuk didalam jaringan karena kerusakan sel otot dan bahwa inilah, bukannya asam laktat yang merangsang ujung saraf nyeri. (Guyton, 1991).                        
3   Passive joint mobility                                                                                
Gerakan tubuh manusia terjadi pada persendian. Macam gerakan dan ROM tergantung dari struktur anatomi sendi, juga posisi otot yang mengontrol gerakan tadi.
Kapsular ligament yang seluruhnya terdapat didalam kapsul sendi akan memberikan penguat terhadap synovial membrane, dimana synovial membrane tadi akan mengeluarkan cairan kedalam rongga sendi yang menjamin gerakan sendi tetap licin, juga memberikan makan terhadap cartilago.
Pada kaki banyak terdapat persendian, sehingga memungkinkan kaki dapat berjalan, menyesuaikan bermacam-macam permukaan dan tampak lentur atau mengeper.
4   Active exercise
Merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot-otot anggota tubuh itu sendiri. Gerak dalam mekanisme pengurangan nyeri dapat terjadi secara reflek dan disadari. Gerak yang dilakukan secara sadar dengan perlahan dan berusaha hingga mencapai lingkup gerak penuh dan diikuti rileksasi otot akan menghasilkan penurunan nyeri (Kisner,1996). Mekanisme gerak yang disadari dalam penurunan nyeri adalah bahwa perananan muscle spindle sangat penting dalam mekanisme ini, sama pentingnya dalam penurunan nyeri dengan menggunakan gerakan pasif. Untuk menekankan pentingnya system eferen gamma, eferen gamma adalah suatu serabut saraf kecil yang bertugas merangsang ujung-ujung serabut intrafusal agar daerah sentral berkontraksi. Orang perlu menyadari bahwa 31 persen dari semua serabut saraf motorik ke otot merupakan serabut eferen gamma, bukannya serabut motorik besar jenis A alfa. Bila sinyal dikirimkan dari korteks motorik atau dari daerah otak lain apapun ke motoneuron gamma hampir selalu terangsang pada saat bersamaan. Ini menyebabkan serabut otot ekstrafusal dan intrafusal berkontraksi pada saat yang sama.
Tujuan mengkontraksikan serabut muscle spindle pada saat bersamaan dengan kontraksi serabut otot rangka besar mungkin ada dua macam : (1) mencegah muscle spindle menentang kontraksi otot, (2) mempertahankan sifat responsif muscle spindle terhadap peredaman dan beban yang tepat dengan tidak menghiraukan perubahan panjang otot. Dengan bekerjanya muscle spindle secara sadar dan optimal maka dengan mekanisme adaptasi dan rileksasi akan menimbulkan penurunan nyeri.(Guyton,1991).      
Active exercise terdiri dari assisted exercise, free active exercise dan resited active exercise. Assisted exercise dapat mengurangi nyeri karena merangsang rileksasi propioseptif. Resisted active exercise dapat meningkatkan tekanan otot, dimana latihan ini akan meningkatkan rekruitment motor unit-motor unit sehingga akan semakin banyak melibatkan komponen otot yang bekerja, dapat dilakukan dengan peningkatan secara bertahap beban atau tahanan yang diberikan dengan penurunan frekuensi pengulangan (Kisner, 1996). Mekanime peningkatan kekuatan otot melalui gerakan resisted active execise adalah dengan adanya irradiasi atau over flow reaction akan mempengaruhi rangsangan terhadap motor unit, motor unit merupakan suatu neuron dan group otot yang disarafinya. Komponen-komponen serabut otot akan berkontraksi bila motor unit tersebut diaktifir dengan memberikan rangsangan pada cell (AHC)nya. Jadi kekuatan kontraksi otot ditentukan motor unitnya, otot akan berkontraksi secara kuat bila otot tersebut semakin banyak menerima rangsangan motor unitnya. Karena otot terdiri dari serabut-serabut dengan motor unit yang mensyarafinya, maka kontraksi otot secara  keseluruhan tergantung dari jumlah motor unit yang mengaktifir otot tersebut pada saat itu. Jumlah motor unit yang besar akan menimbulkan kontraksi otot yang kuat, sedangkan kontraksi otot yang lemah hanya membutuhkan keaktifan motor unit relatif lebih sedikit.(Heri Priatna, 1983).         
5.      Latihan jalan
Aspek terpenting pada penderita fraktur tungkai bawah adalah kemampuan berjalan ,latihan yang yang dilaksanakan adalah ambulasi non weight bearing, dengan menggunakan alat bantu berupa 2 buah kruk, caranya kedua kruk dilangkahkan kemudian diikuti kaki yang sehat sementara kaki yang sakit menggantung (Cash, 1966). Syarat berjalan dengan alat Bantu (1) Otot-otot lengan harus kuat, (2) Harus mempertahankan keseimbangan dalam posisi berdiri dengan alat bantu, (3) Bisa berdiri lama minimal 15 menit.(Tidys, 1961).

DAFTAR PUSTAKA


Appley,A.G and Louis Solomon.(1995).Terjemahan Ortopedi dan Fraktur Sistem Appley ( edisi ke7).Widya Medika.
Chusid, J.G.(1993).Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional (edisi empat).Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Gerhardt, j. John and Russe, A. Cotto.(1995). International SFTR Method of  Measuring and Recording Joint Motion. Stugart : Hans huber Publiser.
Hassenkam ,Marie.(1999). Soft Tissue Injuries. In Atkinson Karen, et.all.Physioterapi in Orthopaedic.Philadelpia : F.A davis Company.
Kisner,Carolyn and Lynn Colby. (1996). Therapeutic Exercise Foundation and Techniques ( third edition). Philadelphia : F.A Davis Company.
Kumar, et. All. (1992). Basic Pathology (fifth edition). Philadelpia :W. B Saunder Company.
Lachmann, Sylvia. (1988). Soft Tissue Injuries in Sport. London : Blackwell scientific Publication.
Mc  Rae,Ronald. (1994) . Practical Fracture Treatment ( third edition). Hongkong.
 Norkin,C.Chynthia and D. Joice White. (1995). Measurement of Joint Motion a Guide to Goniometry ( second edition). Philadelphia : F.A Davis Company.
PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PASCA ORIF PADA FRAKTUR FEMUR 1/3 DISTAL DENGAN PEMASANGAN PLATE AND SCREW
Pada hakikatnya, pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya, jasmani dan rohani yang dilaksanakan secara terarah, terpadu menyeluruh dan berkesinambungan. Pembangunan di bidang kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat sehingga tercapai derajat kesehatan optimal.
Dalam konsep paradigma sehat menuju Indonesia sehat 2010, tujuan pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal, melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang optimal di seluruh wilayah Republik Indonesia (Depkes RI,1999).
Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, Fisioterapi sebagai salah satu tim kesehatan harus berperan aktif dalam meningkatkan kualitas hidup dan derajat kesehatan masyarakat dengan cara menguasai ilmu pengetahuan dan skill yang optimal sesuai dengan bidang, serta memiliki profesionalisme yang tinggi.



A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa perubahan ke arah perkembangan di bidang industri yang lebih maju. Hal ini ditandai dengan munculnya industri-industri baru yang didukung dengan teknologi yang serba canggih.
Hasil dari adanya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, salah satunya adalah terjadi peningkatan jumlah alat transportasi. Dengan adanya peningkatan jumlah alat transportasi menyebabkan terjadinya peningkatan kecelakaan lalu lintas. Selain itu adanya kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan juga dapat mengakibatkan adanya kecelakaan kerja ataupun kecelakaan dalam rumah tangga. Dimana akan mengakibatkan berbagai macam cidera mulai dari cidera yang sifatnya ringan sampai berat. Yang lebih memprihatinkan lagi dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang atau meninggal dunia. Trauma yang terjadi pada kecelakaan lalu-lintas memiliki banyak bentuk, tergantung dari organ apa yang dikenai. Trauma semacam ini, secara lazim, disebut sebagai trauma benda tumpul. Ada tiga trauma yang paling sering terjadi dalam peristiwa ini, yaitu trauma kepala, fraktur (patah tulang) dan trauma dada (Amrizal,2007).
Trauma kedua yang paling sering terjadi dalam sebuah kecelakaan adalah fraktur (patah tulang). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh tekanan atau rudapaksa. Fraktur dibagi atas fraktur terbuka, yaitu jika patahan tulang itu menembus kulit sehingga berhubungan dengan udara luar dan fraktur tertutup, yaitu jika fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia luar.
Dari semua jenis fraktur, fraktur tungkai atas atau lazimnya disebut fraktur femur (tulang paha) memiliki insiden yang cukup tinggi (Amrizal,2007). Salah satu bentuk cidera yang terjadi adalah Fraktur Femur 1/3 Distal. Dengan banyaknya kasus fraktur, peran Rumah Sakit juga sangat diperlukan untuk menangani kasus tersebut. Ada dua penanganan fraktur. Yaitu konservatif dan operatif. Metode konservatif adalah penanganan fraktur dengan reduksi atau reposisi tertutup. Dimana prinsip reposisi adalah berlawanan dari arah fraktur. Setelah reposisi, dilakukan immobilisasi untuk mencegah fragmen fraktur bergerak dan untuk memfasilitasi penyambungan tulang. Sedangkan metode operatif adalah dengan reduksi terbuka yaitu membuka daerah yang mengalami fraktur dan memasangkan fiksasi internal. Disini fiksasi internal yang biasa digunakan untuk fraktur femur 1/3 distal adalah Plate and Screw. Metode operatif merupakan metode yang paling cocok karena beberapa fraktur (misalnya pada batang femur) sulit direduksi dengan manipulasi karena tarikan otot yang sangat kuat dan membutuhkan waktu traksi yang lama (Apley,1995). Selain itu hasil yang diperoleh tidak maksimal. Dari penjelasan di atas, maka penulis mengambil judul studi kasus tentang penanganan pasca open reduction internal fixation (ORIF) fraktur femur 1/3 distal tanpa disertai adanya komplikasi. Biasanya masalah fisioterapi yang muncul segera setelah operasi open reduction internal fixation (ORIF), pasien telah sadar dan berada di bangsal adalah oedem atau bengkak, nyeri, keterbatasan lingkup gerak sendi, penurunan kekuatan otot serta penurunan kemampuan fungsionalnya yaitu berjalan dikarenakan luka bekas operasi dan luka bekas trauma. Oleh karena itu fisioterapis bekerja untuk mengatasi masalah-masalah itu secara tepat dan cepat agar dapat menurunkan atau menghilangkan derajat permasalahan dan pasien dapat kembali ke aktivitas semula. Salah satu modalitas yang digunakan fisioterapis adalah terapi latihan.
Terapi latihan merupakan salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang dalam pelaksanaannya menggunakan latihan gerak aktif maupun pasif (Priatna, 1985). Modalitas terapi latihan yang diberikan berupa static contraction yang disertai dengan positioning yang dapat membantu mengurangi oedema, dengan oedem berkurang maka dapat membantu mengurangi rasa nyeri. Passive movement dan hold relax diharapkan dapat membantu meningkatkan dan memelihara lingkup gerak sendi. Active movement diharapkan dapat membantu meningkatkan nilai kekuatan otot. Selain itu, fisioterapis juga harus memberikan latihan transfer dan ambulasi, terutama latihan jalan untuk mengembalikan kemampuan fungsionalnya.

B. Rumusan Masalah

Pada kondisi pasca ORIF Fraktur Femur 1/3 Distal dapat dirumuskan masalahnya : (1) apakah Static Contraction yang disertai positioning dapat mengurangi oedem dan nyeri? (2) apakah Passive Movement dan Hold Relax dapat meningkatkan lingkup gerak sendi? (3) apakah Active Movement dapat meningkatkan kekuatan otot? (4) apakah latihan jalan dapat meningkatkan kemampuan fungsionalnya?


C. Tujuan Penulisan

Pada kasus pasca ORIF Fraktur Femur 1/3 Distal dapat dirumuskan : (1) untuk mengetahui manfaat static contraction yang disertai positioning dalam mengurangi oedem dan nyeri, (2) untuk mengetahui manfaat passive movement dan hold relax dalam meningkatkan lingkup gerak sendi, (3) untuk mengetahui manfaat active movement dalam meningkatkan kekuatan otot, (4) untuk mengetahui manfaat latihan jalan dalam meningkatkan kemampuan fungsional jalan.















BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Kasus

Dalam deskripsi kasus memuat anatomi fungsional, definisi, etiologi, patologi, tanda dan gejala, komplikasi, prognosis.

1. Anatomi Fungsional

a. Sistem tulang
1) Tulang femur
Femur, tulang terpanjang dan terberat dalam tubuh meneruskan berat tubuh dari os coxae kepada tibia sewaktu kita berdiri. Femur ke proksimal membentuk articulatio coxae, dimana caput femur akan berhubungan dengan acetabulum, gerakan yang akan terjadi adalah fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, rotasi internal dan rotasi eksternal. Sedangkan femur ke distal berhubungan dengan patella membentuk articulatio genu, dimana gerakan yang mungkin terjadi adalah fleksi dan ekstensi lutut. Caput femoris menganjur ke arah craniomedial dan agak ke ventral sewaktu bersendi dengan acetabulum. Ujung proksimal femur terdiri dari sebuah caput femoris, collum femoris dan dua trochanter (trochanter mayor dan trochanter minor). Caput femoris dan collum femoris membentuk sudut (115o-140o) terhadap poros panjang corpus femoris, sudut ini bervariasi dengan umur dan jenis kelamin. Meski demikian memungkinkan daya gerak femur pada articulatio coxae yang lebih besar, keadaan ini juga melimpahkan beban yang cukup besar pada collum femoris. Corpus femoris berbentuk lengkung, yakni cembung ke arah anterior. Ujung distal femur berakhir menjadi dua condylus yaitu condylus medialis dan condylus lateralis yang melengkung bagaikan ulir (Moore,2002). Femur mengadakan persendian dengan tiga tulang, yaitu tulang coxae, tulang tibia dan patella (Pearce,2006).
2) Tulang patella
Patella atau tempurung lutut adalah tulang yang berkembang di dalam tendon otot Quadriceps ekstensor. Permukaan posteriornya halus dan bersendi dengan permukaan pateler dari ujung bawah femur. Letaknya di depan sendi lutut, tetapi tidak ikut serta di dalamnya (Pearce,2006).
3) Tulang tibia dan fibula
Tibia yang besar dan merupakan penyangga beban, proksimal bersendi dengan condylus femur dan distal dengan talus (Moore,2002).










Keterangan gambar 1 :

1. Caput femoris
2. Collum femoris
3. Trochanter minor
4. Trochanter major
5. Linea intertrochanterica
6. Corpus femoris
7. Epicondilus Medialis
8. Facies patellaris
9. Epicondylus lateralis
10. Crista intectrochantorica
11. Linea pectinea
12. Linea aspera
13. Condylus medialis
14. Condylus lateralis
15. Fossa intercondylaris













Gambar 2.1
Tulang femur, tampak depan dan belakang (Putz and Pabst, 2000)


b. Sistem otot
Untuk gerakan fleksi pada articulatio coxae dilakukan oleh otot iliacus dan otot psoas mayor. Untuk gerakan ekstensinya dilakukan oleh otot gluteus maximus dan hamstrings (biceps femoris, semitendinosus, semimembranosus).
Gerakan abduksi pada articulatio coxae dilakukan oleh otot gluteus medius, gluteus minimus dan otot pembantu tensor fascialata (Daniels,1995).
Gerakan adduksi pada articulatio coxae terjadi melalui otot adductor magnus, adductor brevis, pectineus dan gracilis.
Untuk gerakan rotasi internal pada articulatio coxae terjadi melalui otot gluteus minimus, gluteus medius, tensor fasciae latae, sedangkan gerakan rotasi eksternal dilakukan oleh otot obturatorius externus, obturatorius internus, quadratus femoris, piriformis, gemellus superior, gemellus inferior, gluteus maximus (Daniels,1995).
Otot ekstensor tungkai bawah pada articulatio genu atau otot ekstensor lutut yang menutupi bagian femur anterior, medial, lateral yaitu otot quadriceps femoris dan terdiri dari (a) otot rectus femoris di sebelah anterior paha, (b) otot vastus lateralis yang terdapat pada sisi lateral paha, (c) otot vastus medialis yang menutupi sisi medial paha dan (d) otot vastus intermedius yang terletak di sebelah dalam otot rectus femoris dan antara otot vastus medialis dan otot vastus lateralis (Moore,2002).
Fleksi lutut terjadi melalui otot-otot hamstrings (lateral biceps femoris dan medial semitendinosus serta semimembranosus) (De Wolf,1994). Selain itu gerakan fleksi lutut juga dibantu oleh otot sartorius dan gracilis (De wolf, 1994).

Keterangan Gambar 2:

1. M. psoasmajor
2. M. Iliacus
3. M. Iliopsoas
4. M. tensor fasciae Latae
5. M. rectus femoris
6. M. vastus lateralis
7. M. psoas minor
8. M. pectineus
9. M. adductor longus
10. M. sartorius
11. M. adductor magnus
12. M. gracilis
13. M. vastus medialts































Gambar 2
Otot paha penguat sendi lutut dilihat dari anterior (Putz and Pabst, 2000)



Keterangan Gambar 3 :

1. M. gluteus maximus
2. M. gracilis
3. M. semitendinosus
4. M. semimembranosus
5. M. gastrocnemius
6. M. gluteus medius. fascia
7. M. vastus lateralis
8. M. biceps femoris



































Gambar 3
Otot paha penguat sendi lutut dilihat dari posterior (Putz and Pabst, 2000)


c. Sistem sendi
1) Articulatio coxae
Terbentuk diantara caput femoris tulang femur dan acetabulum os coxae yang berbentuk mangkuk, permukaan sendi acetabulum berbentuk tapal kuda dan terbuka di bagian bawah pada incisura acetabuli. Jenis sinovial “Ball and Socket” (Richard,1998). Gerakan yang terjadi pada articulatio coxae adalah fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, rotasi internal dan rotasi eksternal.
2) Articulatio genu
Sendi sinovial jenis engsel yang memungkinkan sedikit gerak rotasi sewaktu berada dalam sikap fleksi.
Articulatio genu secara mekanis bersifat tidak stabil karena bentuk permukaannya yang datar. Untuk kekuatan articulatio genu tergantung pada ligamentum yang mengikat femur pada tibia (Moore,2002). Gerakan yang dapat dilakukan pada sendi ini adalah fleksi-ekstensi, yang mana terjadi pada bidang gerak sagital dengan axis tranversal. Luas gerak sendi untuk gerakan fleksi berkisar antara 130o – 140o, sedangkan untuk gerakan ekstensi nilainya 0o, apabila nilainya berkisar antara 5o – 10o maka terjadi hyperekstensi, tetapi masih dalam batas normal (Norkin, 1995).

2. Definisi
a. Terapi latihan
Terapi latihan adalah salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang dalam pelaksanaannya menggunakan latihan gerakan tubuh, baik secara aktif maupun pasif (Priatna, 1985).
b. Pasca
Pasca berarti setelah (Ramali, 1987).
c. Open Reduction Internal Fixation
Apabila diartikan dari masing-masing kata adalah sebagai berikut; Open berasal dari bahasa Inggris yang berarti buka, membuka, terbuka (Jamil,1992), Reduction berasal dari bahasa Inggris yang berarti koreksi patah tulang (Ramali, 1987), Internal berasal dari bahasa Inggris yang berarti dalam (Ramali, 1987), Fixation berasal dari bahasa Inggris yang berarti keadaan ditetapkannya dalam satu kedudukan yang tidak dapat berubah (Ramali, 1987). Jadi dapat disimpulkan sebagai koreksi patah tulang dengan jalan membuka dan memasang suatu alat yang dapat membuat fragmen tulang tidak dapat bergerak.
d. Plate and screw
Plate berarti struktur pipih atau lapisan (Dorland,1998). Screw berarti silinder padat (Dorland,2002). Plate and screw berarti suatu alat untuk fiksasi internal yang berbentuk struktur pipih yang disertai alat berbentuk silinder padat untuk memfiksasi daerah yang mengalami perpatahan.
e. Fraktur femur 1/3 distal
Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang, dikarenakan trauma langsung, trauma tidak langsung, faktor tekanan atau kelelahan dan faktor patologik (Appley,1995). Pada kasus ini terjadi pada 1/3 bagian distal femur.

3. Etiologi

Menurut etiologinya fraktur dapat disebabkan oleh : (a) trauma yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung, (b) karena tekanan pada tulang sehingga tulang mengalami kelelahan, (c) karena penyakit pada tulang atau faktor patologik.
Oedem, nyeri, gangguan lingkup gerak sendi, penurunan kekuatan otot dan gangguan aktivitas berjalan disebabkan adanya luka fraktur dan luka bekas operasi.

4. Patologi
Pada kasus fraktur femur 1/3 distal, tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki posisi fragmen adalah dengan reduksi secara terbuka atau dengan tindakan operasi (Appley, 1995). Pada tindakan operasi akan dilakukan incisi pada tungkai atas bagian lateral dan pemasangan plate and screw untuk mendekatkan ujung fragmen dan untuk fiksasi. Dengan adanya tindakan operasi ini, maka akan terjadi kerusakan jaringan lunak. Tindakan operasi akan menyebabkan reaksi radang, pembuluh darah vasodilatasi sehingga permeabilitas dinding akan meningkat. Dengan meningkatnya permeabilitas dinding maka cairan eksudat keluar dan meningkatkan tekanan pada jaringan interstitial. Kumpulan cairan eksudat akan mengakibatkan oedem. Oedem akan menekan nociceptor sehingga akan timbul nyeri. Apabila terasa nyeri, biasanya pasien enggan untuk bergerak, sehingga dapat menyebabkan penurunan lingkup gerak sendi. Apabila hal ini dibiarkan terus-menerus dan dalam jangka waktu yang lama, maka akan terjadi penurunan kekuatan otot sehingga aktivitas fungsional pasien juga akan menurun khususnya aktivitas jalan.
Namun secara fisiologis, tulang mempunyai kemampuan untuk menyambung sendiri setelah patah tulang. Proses penyambungan tulang pada setiap individu berbeda-beda. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyambungan tulang adalah (1) usia pasien, (2) jenis fraktur, (3) lokasi fraktur, (4) suplai darah, (5) kondisi medis yang menyertainya (Garrison,1995). Proses penyambungan tulang terdiri dari tahapan-tahapan :
a. Hematoma
Pembuluh darah robek, darah keluar sehingga terbentuk kumpulan darah di sekitar dan di dalam tempat yang mengalami fraktur. Tulang pada ujung fragmen yang tidak mendapat pasokan darah, akan mati sepanjang satu atau dua millimeter (Appley,1995).
b. Proliferasi
Dalam 8 jam setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam canalis medullaris yang terkoyak. Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan yang kaya sel, yang menghubungkan ujung fragmen fraktur. Hematoma yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang ke dalam daerah itu (Appley,1995).
c. Pembentukan callus
Selama beberapa minggu berikutnya, callus bervaskular masih lunak, penuh dengan sel berbentuk kumparan yang aktif. Tulang spongiosa membentuk callus bila kedua ujung fragmen berdekatan, sedangkan tulang kortikal dapat membentuk callus walaupun kedua ujung fragmen tidak berdekatan. Pergerakan yang lembut dapat merangsang pembentukan callus pada fraktur tulang panjang. Setelah dua minggu endapan kalsium telah cukup terdapat pada callus yang dapat dilihat pada foto sinar-X dan diraba dengan palpasi. Callus yang mengalami kalsifikasi ini secara lambat diubah menjadi ‘anyaman tulang’ longgar terbuka yang membuat ujung tulang menjadi melekat dan mencegah pergerakan ke samping satu sama lain (King, 2001).
d. Konsolidasi
Bila aktivitas osteoklast (sel yang meresorpsi tulang) dan osteoblast (sel yang membentuk tulang) berlanjut, tulang baru akan berubah menjadi tulang lamellar (berlapis-lapis). Sistem itu sekarang cukup kaku untuk memungkinkan osteoklast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur dan dekat di belakangnya osteoblast mengisi celah-celah yang tersisa di antara fragmen dengan tulang yang baru (Apley,1995).
e. Remodelling
Tulang yang fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorpsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamella yang lebih tebal diletakkan pada tempat yang tekanannya tinggi: dinding-dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk akhirnya tulang akan memperoleh bentuk yang mirip dengan bentuk normalnya (Appley,1995).


5. Tanda dan gejala

Menurut Appley dikatakan tanda dan gejala pasca operasi fraktur adalah : (a) oedem di sekitar daerah fraktur, (b) rasa nyeri dikarenakan luka fraktur dan luka bekas operasi dan ada oedem di dekat daerah fraktur, (c) keterbatasan gerak sendi lutut, (d) penurunan kekuatan otot, (e) gangguan aktifitas fungsional tungkai, (f) bila di foto Roentgen akan terlihat garis fraktur (Appley,1995).

6. Komplikasi


Beberapa komplikasi yang dapat timbul pasca operasi fraktur femur 1/3 distal adalah :
a) Infeksi
Infeksi terjadi karena masuknya mikroorganisme patogen ke dalam daerah fraktur dan karena fiksasi internal yang di pasang di dalam tubuh pasien mungkin tidak steril atau karena teknik, perlengkapan dan keadaan operasi yang buruk (Adam, 1992).
b) nekrosis avaskular
Ini adalah komplikasi dini dari cedera tulang, karena iskemia terjadi selama beberapa jam pertama setelah fraktur (Appley,1995).
c) Deep Venous Trombosis ( DVT )
Komplikasi yang paling sering ditemukan pada cedera dan operasi. Di Indonesia insidensi yang sebenarnya tidak diketahui. Penyebab utama Deep Venous Thrombosis pada pasien pembedahan adalah hiperkoagulabilitas darah, terutama akibat aktivasi faktor X oleh tromboplastin yang dilepas oleh jaringan yang rusak. Faktor-faktor sekunder yang penting, seperti imobilisasi yang lama, kerusakan endotel dan peningkatan jumlah dan kelengketan trombosit dapat diakibatkan oleh cedera atau operasi (Appley,1995).

7. Prognosis


Penderita fraktur femur setelah operasi pemasangan fiksasi internal dengan plate and screw bila tanpa komplikasi dan mendapat layanan fisioterapi yang cepat, tepat dan adekuat diharapkan kapasitas fisik dan kemampuan fungsionalnya, baik Quo ad vitam, Quo ad sanam, Quo ad fungsionam, ataupun Quo ad cosmeticam baik.

B. Deskripsi problematika kasus

Problematika yang dapat muncul pada pasca operasi fraktur femur 1/3 distal adalah meliputi :

1. Impairment

a. Oedem di sekitar daerah fraktur
Oedem yang terjadi karena adanya luka bekas operasi, sehingga tubuh memberikan respon radang atas kerusakan jaringan di dekat daerah fraktur.
b. Nyeri di sekitar luka operasi
Adanya luka bekas operasi serta adanya oedem di dekat daerah fraktur, menyebabkan peningkatan tekanan pada jaringan interstitial sehingga akan menekan nociceptor, lalu menyebabkan nyeri.
c. Keterbatasan lingkup gerak sendi
Karena oedem dan nyeri yang disebabkan oleh luka fraktur dan luka operasi menyebabkan pasien takut untuk bergerak, sehingga lingkup gerak sendi lama-lama akan mengalami gangguan atau penurunan.
d. Penurunan kekuatan otot
Oedem dan nyeri karena luka bekas operasi dapat menyebabkan penurunan kekuatan otot karena pasien tidak ingin menggerakkan anggota geraknya dan dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan disused atrophy.

2. Functional Limitation

Adanya oedem dan nyeri menyebabkan pasien mengalami penurunan kemampuan fungsionalnya, seperti transfer, ambulasi, jongkok berdiri, naik turun tangga, keterbatasan melakukan Buang Air Besar (BAB) dan Buang Air Kecil (BAK).
Hal ini disebabkan adanya rasa nyeri, oedem, dan karena penyambungan tulang oleh callus yang belum sempurna, sehingga pasien belum mampu menumpu berat badan dan melakukan aktifitas sehari-hari secara optimal.

3. Participation Restriction

Oleh karena nyeri, oedem dan keterbatasan fungsional, pasien tidak mampu berhubungan dengan lingkungan sekitarnya atau bersosialisasi dengan orang lain.



C. Teknologi Intervensi Fisioterapi

Teknologi Fisioterapi yang digunakan dalam kasus ini adalah terapi latihan. Terapi latihan adalah usaha pengobatan dalam fisioterapi yang pelaksanaannya menggunakan latihan-latihan gerakan tubuh, baik secara aktif maupun pasif (Priatna,1985).
Pada umumnya, sebelum dan setelah pelaksanaan terapi latihan, bagian yang mengalami operasi yaitu 1/3 distal femur pasien dalam keadaan dielevasikan sekitar 30o.

1. Static Contraction

Terjadi kontraksi otot tanpa disertai perubahan panjang otot dan tanpa gerakan pada sendi (Kisner,1996). Latihan ini dapat meningkatkan tahanan perifer pembuluh darah, vena yang tertekan oleh otot yang berkontraksi menyebabkan darah di dalam vena akan terdorong ke proksimal yang dapat mengurangi oedem, dengan oedem berkurang, maka rasa nyeri juga dapat berkurang.

2. Passive Movement

Passive movement adalah gerakan yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan dari luar sementara itu otot pasien lemas (Priatna,1985). Passive movement ada 2, yaitu :
a. Relaxed Passive Movement
Gerakan pasif hanya dilakukan sebatas timbul rasa nyeri. Bila pasien sudah merasa nyeri pada batas lingkup gerak sendi tertentu, maka gerakan dihentikan (Priatna,1985).
b. Forced Passive Movement
Forced Passive Movement bertujuan untuk menambah lingkup gerak sendi. Tekniknya hampir sama dengan relaxed passive movement, namun di sini pada akhir gerakan diberikan penekanan sampai pasien mampu menahan rasa nyeri (Priatna,1985).

3. Active Movement

Merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot anggota gerak tubuh pasien itu sendiri (Kisner,1996). Pada kondisi oedem, gerakan aktif ini dapat menimbulkan “pumping action” yang akan mendorong cairan bengkak mengikuti aliran darah ke proksimal. Latihan ini juga dapat digunakan untuk tujuan mempertahankan kekuatan otot, latihan koordinasi dan mempertahankan mobilitas sendi.
Active Movement terdiri dari :
a. Free Active Movement
Gerakan dilakukan sendiri oleh pasien, hal ini dapat meningkatkan sirkulasi darah sehingga oedem akan berkurang, jika oedem berkurang maka nyeri juga dapat berkurang. Gerakan ini dapat menjaga lingkup gerak sendi dan memelihara kekuatan otot.
b. Assisted Active Movement
Gerakan ini berasal dari pasien sendiri, sedangkan terapis memfasilitasi gerakan dengan alat bantu, seperti sling, papan licin ataupun tangan terapis sendiri. Latihan ini dapat mengurangi nyeri karena merangsang relaksasi propioseptif.
c. Ressisted Active Movement
Ressisted Active Movement merupakan gerakan yang dilakukan oleh pasien sendiri, namun ada penahanan saat otot berkontraksi. Tahanan yang diberikan bertahap mulai dari minimal sampai maksimal. Latihan ini dapat meningkatkan kekuatan otot.

4. Hold Relax

Hold Relax adalah teknik latihan gerak yang mengkontraksikan otot kelompok antagonis secara isometris dan diikuti relaksasi otot tersebut. Kemudian dilakukan penguluran otot antagonis tersebut. Teknik ini digunakan untuk meningkatkan lingkup gerak sendi ( Kisner,1996).

5. Latihan Jalan

Latihan transfer dan ambulasi penting bagi pasien agar pasien dapat kembali ke aktivitas sehari-hari. Latihan transfer dan ambulasi di sini yang penting untuk pasien adalah latihan jalan. Mula-mula latihan jalan dilakukan dengan menggunakan dua axilla kruk secara bertahap dimulai dari non weight bearing atau tidak menumpu berat badan sampai full weight bearing atau menumpu berat badan. Metode jalan yang digunakan adalah swing, baik swing to ataupun swing through dan dengan titik tumpu, baik two point gait, three point gait ataupun four point gait. Latihan ini berguna untuk pasien agar dapat mandiri walaupun masih menggunakan alat bantu.





















BAB III

RENCANA PELAKSANAAN STUDI KASUS

A. Rencana Pengkajian kasus

1. Anamnesis

Anamnesis adalah proses tanya jawab untuk mendapatkan data pasien beserta keadaan dan keluhan-keluhan yang dialami pasien. Anamnesis dapat dibagi menjadi dua, yaitu auto anamnesis dan hetero anamnesis. Auto anamnesis adalah bila tanya jawab dilakukan dengan penderita sendiri. Sedangkan hetero anamnesis adalah bila tanya jawab dilakukan dengan orang lain yang dianggap mengetahui keadaan penderita (Hudaya, 2002).
a. Anamnesis umum
Dalam anamnesis umum ini berisi identitas pasien, dari anamnesis ini bukan hanya dapat diketahui siapa pasien, namun juga dapat diketahui bagaimana pasien tersebut dan permasalahan pasien. Identitas pasien terdiri dari nama pasien, umur, jenis kelamin, alamat, agama dan pekerjaan pasien.
b. Anamnesis khusus, terdiri dari :
1) Keluhan utama
Merupakan keluhan atau gejala yang mendorong atau membawa penderita mencari pertolongan. Biasanya merupakan ada tidaknya nyeri, oedem, keterbatasan gerak sendi akibat fraktur.
2) Riwayat penyakit sekarang
a) Riwayat perjalanan penyakit
Menggambarkan riwayat penyakit secara lengkap dan jelas. Yang biasa ditanyakan adalah kapan terjadi fraktur, mekanisme terjadinya fraktur, penanganan pertama setelah trauma, dimana letak keluhan, faktor yang memperberat dan memperingan keluhan.
b) Riwayat pengobatan
Menggambarkan segala pengobatan yang pernah didapat sebelumnya, riwayat penanganan fraktur yaitu sudah pernah berobat atau ditangani dimana sebelumnya, bagaimana cara penanganannya dan bagaimana hasilnya.
3) Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit baik fisik maupun psikiatrik yang pernah diderita sebelumnya. Dapat diketahui apakah pasien dulu pernah mondok, pernah mempunyai penyakit yang serius, trauma, pembedahan.
4) Riwayat keluarga
Penyakit-penyakit dengan kecenderungan herediter atau penyakit menular, misalnya apakah di dalam keluarga pasien ada yang mempunyai penyakit Diabetes Melitus, apakah mempunyai penyakit pada tulang.
5) Riwayat pribadi
Menggambarkan hobby, olahraga, pola makan, minum alkohol, kondisi lingkungan baik di rumah, sekolah atau tempat kerja yang mungkin ada hubungannya dengan kondisi pasien.
6) Anamnesis sistem
Anamnesis sistem ini dilakukan untuk melengkapi anamnesis atau pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Anamnesis sistem ini meliputi kepala dan leher, sistem respirasi, sistem kardiovaskuler, gastrointestinal, urogenital, muskuloskeletal dan nervorum.

2. Pemeriksaan klinik

a. Pemeriksaan fisik
1) Vital Sign
Pemeriksaan ini meliputi pengukuran tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, suhu tubuh, tinggi badan, berat badan. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengetahui apakah pasien menderita hipertensi, takikardi, demam ataupun obesitas.
2) Pemeriksaan setempat di tempat operasi
a) Inspeksi
Pemeriksaan dengan cara melihat dan mengamati (Mardiman,1994). Hal-hal yang dapat diamati dalam kasus ini adalah adanya oedem atau bengkak ataupun perubahan warna kulit pada daerah yang dioperasi.
b) Palpasi
Pemeriksaan dengan jalan meraba, menekan dan memegang bagian tubuh pasien untuk mengetahui tentang adanya nyeri tekan, suhu, oedem atau adanya spasme otot (Mardiman,1994).
3) Pemeriksaan gerak ditujukan pada anggota gerak yang mengalami operasi
Pemeriksaan gerak meliputi :
a) Pemeriksaan gerak aktif
Pemeriksaan gerak aktif dilakukan pada sendi lutut. Pasien secara aktif menggerakkan anggota tubuhnya yang mengalami gangguan dengan aba-aba dari terapis. Gerakan yang dilakukan meliputi fleksi-ekstensi sendi lutut dan abduksi-adduksi sendi panggul. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang lingkup gerak sendi aktif, rasa nyeri, koordinasi serta kekuatan otot.
b) Pemeriksaan gerak pasif
Terapis menggerakkan anggota tubuh pasien yang mengalami gangguan. Pemeriksaan gerak pasif ini dilakukan pada sendi lutut dan sendi panggul. Gerakan meliputi fleksi-ekstensi sendi lutut dan abduksi-adduksi sendi panggul. Dari pemeriksaan gerak pasif ini didapatkan informasi tentang lingkup gerak sendi pasif, rasa nyeri, dan stabilitas sendi.
c) Pemeriksaan gerak isometrik melawan tahanan
Pasien menggerakkan tungkainya secara aktif sementara terapis memberi tahanan. Pasien berusaha menggerakkan tungkainya baik fleksi-ekstensi sendi lutut dan abduksi-adduksi sendi panggul, namun tidak ada gerakan dalam sendi. Pemeriksaan gerak isometrik ini ditujukan untuk mengetahui kekuatan otot dan adanya rasa nyeri.
b. Pemeriksaan spesifik
1) Pemeriksaan nyeri
Pemeriksaan nyeri bertujuan untuk memeriksa derajat nyeri yang dirasakan oleh pasien saat itu. Sebelum mengukur derajat nyeri, terapis mengajarkan kepada pasien tentang skala nyeri Verbal Descriptive Scale (VDS) itu sendiri. Bahasa yang digunakan terapis adalah bahasa yang sederhana, sehingga pasien memahami maksud dari pengukuran tersebut. Pemeriksaan dengan verbal descriptive scale (VDS) dilakukan dengan tiga pemeriksaan yaitu pemeriksaan nyeri saat diam, tekan dan saat digerakkan.
Pemeriksaan ini dengan menggunakan VDS, yaitu derajat nyeri dengan tujuh skala penilaian :
TABEL 3.1
Kriteria Verbal Descriptive Scale (VDS)

Skala Keterangan
1. Tidak nyeri
2. Nyeri sangat ringan
3. Nyeri ringan
4. Nyeri tidak begitu berat
5. Nyeri cukup berat
6. Nyeri berat
7. Nyeri hampir tak tertahankan
(Pudjiastuti,2003)
2) Pemeriksaan antropometri
Pemeriksaan untuk mengetahui lingkar segmen tungkai atas dan tungkai bawah bilateral. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan pita ukur. Titik patokan adalah Tuberositas tibia. Kemudian terapis mengukur mulai dari Tuberositas Tibia ke atas mulai 10 cm untuk mengukur circumferentia atau lingkar segmen tungkai atas dan Tuberositas ke bawah mulai 10 cm untuk mengukur circumferentia tungkai bawah. Pemeriksaan ini salah satunya digunakan untuk mengetahui apakah ada oedem atau tidak. Hasil dari pengukuran kemudian dibandingkan antara sisi yang sehat dan sisi yang sakit karena oedem dapat terjadi pada sisi yang sakit diakibatkan adanya luka fraktur dan luka bekas operasi.
3) Pemeriksaan lingkup gerak sendi
Pemeriksaan ini untuk mengetahui derajat keterbatasan gerak pasien. Pemeriksaan lingkup gerak sendi ini dengan menggunakan goniometer, dimana as goniometer diletakkan di condylus lateral femur untuk gerakan fleksi-ekstensi lutut. Tangkai statik diletakkan sejajar tulang femur dan tangkai dinamis diletakkan sejajar tulang fibula. Posisi pasien berbaring terlentang. Lingkup gerak sendi yang normal untuk fleksi dan ekstensi lutut adalah (S) 0o-0o-130o, bila ekstensi 5o-10o dikatakan hiperekstensi, namun masih dalam batas normal (Norkin,1995). Untuk gerakan abduksi-adduksi sendi panggul, as goniometer diletakkan di Spina Iliaca Superior Inferior (SIAS). Tangkai statik diletakkan menuju arah Spina Iliaca Superior Inferior (SIAS) yang berlawanan dan tangkai dinamis diletakkan sejajar tulang femur. Posisi pasien berbaring terlentang. Lingkup gerak sendi yang normal untuk abduksi-adduksi sendi panggul adalah (S) 45o-0o-25o (Russe,1975).
TABEL 3.2
Lingkup Gerak Sendi normal
Sendi panggul
(Abduksi) Sendi panggul
(Adduksi) Sendi lutut
(Fleksi) Sendi lutut
(Ekstensi)
45o 25o 130o 0o


4) Pemeriksaan kekuatan otot
Pemeriksaan kekuatan otot ini dengan menggunakan Manual Muscle Testing (MMT), pemeriksaan ini dengan menggunakan tahanan manual dari terapis. Pemeriksaan kekuatan otot dilakukan pada sisi yang sakit. Kelompok otot yang akan dinilai kekuatan ototnya adalah kelompok fleksor dan ekstensor lutut. Dalam pemeriksaan ini harus diperhatikan : (a) posisi pasien, (b) stabilisasi, (c) besarnya tahanan dari terapis, karena pemeriksaan kekuatan otot dengan manual muscle testing bersifat subjektif sehingga hasilnya kurang valid.

TABEL 3.3
Kriteria Hasil MMT
Kriteria Tes MMT Keterangan
0 (zero) Tidak ada kontraksi otot
1 (trace) Ada kontraksi otot tetapi tidak terjadi gerakan
2 (poor) Mampu bergerak penuh tanpa melawan gravitasi
3 (fair) Mampu bergerak penuh melawan gravitasi
4 (good) Mampu bergerak penuh melawan gravitasi dengan tahanan moderat
5 (normal) Mampu bergerak penuh melawan gravitasi dengan tahanan maksimal

5) Pemeriksaan aktivitas fungsional
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan pasien dalam beraktivitas terutama kemampuan jalannya. Pemeriksaan dilakukan dengan mengamati kemampuan pasien dalam berjalan dengan menggunakan alat bantu yaitu axilla kruk serta jarak tempuh yang dapat dicapai pasien.

3. Diagnosis fisioterapi

Pada kasus pasca operasi fraktur femur 1/3 distal dapat ditemukan masalah-masalah yaitu berupa impairment, functional limitation dan participation restriction. Impairment berupa oedem, nyeri, keterbatasan gerak dan penurunan kekuatan otot. Functional limitation berupa penurunan kemampuan fungsionalnya seperti penurunan kemampuan berjalan. Participation restriction berupa ketidakmampuan pasien dalam aktivitas yang berhubungan dengan lingkungan sekitar.

B. Tujuan Fisioterapi

Berdasarkan problematik dan diagnosis fisioterapi di atas, tujuan fisioterapi adalah mengurangi oedem, mengurangi nyeri, meningkatkan lingkup gerak sendi, meningkatkan kekuatan otot dan mengembalikan kemampuan transfer dan ambulasi yaitu kemampuan jalannya, sehingga pasien dapat kembali melakukan aktivitas sehari-hari secara optimal.



C. Rencana Pelaksanaan Terapi

Sebelum dan setelah pelaksanaan terapi latihan, pasien dalam posisi mengelevasikan tungkai atas yang sakit dengan diganjal bantal pada tungkai bawah sisi yang sakit sehingga membentuk sudut 30o.
Adapun pelaksanaan terapi latihan berturut-turut :


1. Static Contraction

Latihan ini dilakukan segera setelah pasien berada di bangsal atau hari pertama setelah operasi. Posisi pasien berbaring terlentang, ditujukan untuk otot quadriceps femoris. Tangan terapis berada di bawah fossa poplitea sisi yang sakit, lalu pasien diminta menekan tangan terapis selama 6 kali hitungan. Latihan ini dilakukan sekali sehari dengan pengulangan 10-12 kali dan dilakukan setiap hari. Latihan ini diharapkan dapat mengurangi oedem dan nyeri.

2. Passive Movement

a. Relaxed Passive Movement
Posisi pasien berbaring terlentang, terapis berada di sebelah lateral tungkai pasien yang sakit dan menghadap ke sisi kranial pasien. Terapis menggerakkan tungkai ke arah fleksi lutut secara perlahan sampai batas timbul rasa nyeri, kemudian dikembalikan lagi ke arah ekstensi lutut. Gerakan lain yang dapat dilakukan adalah abduksi-adduksi sendi panggul, dorsal-plantar fleksi serta inversi-eversi sendi pergelangan kaki. Gerakan ini dilakukan sekali sehari dengan 10-12 kali pengulangan dan dilakukan setiap hari.
b. Forced Passive Movement
Posisi pasien berbaring terlentang, terapis berada di sebelah lateral tungkai pasien yang sakit dan menghadap ke sisi kranial pasien. Gerakan sama seperti relaxed passive movement, namun diakhir gerakan diberi penekanan sampai pasien mampu menahan rasa nyeri. Gerakan ini dilakukan sekali sehari dengan 10-12 kali pengulangan dan dilakukan setiap hari.

3. Active Movement

a. Free Active Movement
Gerakan ini diberikan untuk tungkai yang sakit. Posisi pasien berbaring terlentang, posisi terapis berada di sebelah lateral tungkai pasien yang sakit dan menghadap ke sisi kranial pasien. Tangan terapis yang satu memfiksasi di proksimal lutut dan yang lain di distal tungkai bawah. Pasien menggerakkan sendiri anggota gerak yang sakit. Gerakan yang dilakukan adalah fleksi-ekstensi sendi lutut, abduksi-adduksi sendi panggul dan dorsal-plantar serta inversi-eversi sendi pergelangan kaki. Gerakan dilakukan 1 kali dalam sehari dengan 10-12 kali pengulangan dan dilakukan setiap hari.
b. Assisted Active Movement
Gerakan ini dapat dilakukan pada hari pertama setelah operasi. Posisi pasien berbaring terlentang, dengan satu tangan terapis menyangga di bawah proksimal lutut dan tangan yang lain berada pada distal tungkai bawah pasien. Gerakan yang dilakukan adalah fleksi-ekstensi lutut, abduksi-adduksi sendi panggul dan dorsal-plantar fleksi serta inversi-eversi sendi pergelangan kaki. Gerakan dilakukan 1 kali dalam sehari dengan 10-12 kali pengulangan dan dilakukan setiap hari.
c. Ressisted Active Movement
Gerakan ini dapat dilakukan sekalipun pada hari pertama setelah operasi. Gerakan berupa fleksi-ekstensi lutut, abduksi-adduksi sendi panggul, dorsal-plantar fleksi serta inversi-eversi sendi pergelangan kaki. Terapis memberikan penahanan untuk setiap gerakan yang dilakukan. Tahanan yang diberikan bertahap dari mulai minimal sampai maksimal dan penahanan yang dilakukan sampai pasien mampu menahan rasa nyeri. Tahanan yang diberikan terapis berlawanan dari arah gerakan yang dilakukan pasien. Gerakan dilakukan 1 kali dalam sehari dengan 10-12 kali pengulangan dan dilakukan setiap hari.

4. Hold Relax

Posisi pasien berbaring terlentang, lalu pasien diminta untuk menggerakkan ke arah fleksi lutut sampai batas timbul rasa nyeri, terapis memberikan penahanan ke arah ekstensi lutut. Pasien diminta untuk mempertahankan agar tidak terjadi gerakan pada sendi. Setelah itu pasien rileks dan terapis menggerakkan ke arah fleksi lutut untuk penguluran otot-otot ekstensor.

5. Latihan Jalan

Latihan berjalan dilakukan pada hari kedua namun juga harus melihat kondisi pasien. Sebelum dilakukan latihan berjalan, pasien duduk ongkang-ongkang di tepi bed. Tungkai yang sehat diturunkan dari bed terlebih dahulu, tungkai yang sakit diturunkan dengan bantuan dari terapis. Terapis menyangga dengan cara meletakkan satu tangan di bawah bagian distal tungkai atas dan yang lainnya di distal tungkai bawah. Setelah itu pasien diberdirikan dengan menggunakan dua axilla kruk, kemudian latihan berjalan di mulai non weight bearing dengan metode three point gait dan swing to.
D. Rencana Evaluasi Hasil Terapi

Rencana evaluasi yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan efek samping yang mungkin timbul dari program terapi yang diberikan. Rencana evaluasi pada kasus pasca operasi fraktur femur 1/3 distal yaitu pada tempat bekas operasi adalah : (1) oedema dengan antropometri yaitu menggunakan pita ukur, (2) nyeri dengan menggunakan Verbal Descriptive Scale (VDS), (3) lingkup gerak sendi dengan menggunakan goniometer, (4) nilai kekuatan otot dengan manual muscle testing (MMT), (5) kemampuan aktifitas fungsional dengan mengamati kemampuan transfer ambulasi pasien yaitu kemampuan berjalan serta melihat perkembangan jarak tempuh yang dapat dicapai pasien saat berjalan.